Ibu, Benteng paling Tangguh


*Oleh Ian Hidayat

MAKASSARBICARA.ID – Awal pekan, pagi menjelang siang. Saya mendapat telepon dari Ibu. Seperti biasa, Ibu bertanya kabar. Kujawab seadanya. Di tengah obrolan Ibu juga tidak pernah lupa dengan pertanyaan basa-basinya, “kapan balik ke kampung?”. Pun, kujawab seadanya.

Di akhir percakapan, sebenarnya Ibu meminta untuk pulang. Tapi Ibu sangat paham untuk tidak memaksa karena saya masih perlu berada di Makassar guna mencicipi belajar dan berkembang di perkotaan. Pinta Ibu memang cukup beralasan. Widya, adik perempuan saya, akan Wisuda Tahfiz. Ia sudah menghafal 7 juz Quran.

Saya memiliki 3 saudara, 1 adik laki laki dan 2 adik perempuan. Semuanya sedang menempuh pendidikan di Yayasan Darul Dakwah wal Irsyad Pasangkayu, termasuk Widya. Widya termasuk santri yang cerdas, ia selalu berlomba untuk mendapatkan juara di kelasnya. Sekarang Widya sudah duduk di bangku kelas 2 Madrasah Aliyah.

Sejak masuk ke jenjang pendidikan menengah, Widya sudah mulai tertarik belajar di Pondok Pesantren. Widya sempat meninggalkan kampung untuk mondok di Pesantren al Urwatul Usqa di Sidrap. Di sana, selain tinggal di Pondok, Widya juga tinggal bersama Nenek di akhir pekan.

Lanjut pendidikan menengah atas, Widya memilih kembali ke Pasangkayu. Ia merasa perlu menemani Ibu. Walaupun masih ditemani oleh 2 saudara lainnya, Ibu sebenarnya masih merasakan kesepian setelah Ayah meninggal 2016 silam. Saya merasakan betul perasaan kesepian itu.

Setiap saya meminta izin untuk kembali ke Pasangkayu, Ibu selalu antusias menyambutnya. Pernah suatu ketika, saya harus menemui gelap tengah malam untuk tiba di rumah. Ibu menunggu di ruang tamu, bahkan sampai ia tertidur.

Ibu bahkan tidak berani mengunci pintu rumah. Padahal kondisi Pasangkayu saat itu cukup mengkhawatirkan karena orang-orang kriminal yang masih rajin berkeliaran di tengah malam.

Tapi Ibu di malam itu tetap mengambil pilihan yang berani karena berangkat dari rasa kasih sayang.

Setiap keberhasilan-keberhasilan yang dilakukan oleh adik-adik, saya selalu salut pada Ibu. Ibu adalah benteng tangguh yang menjaga kami semenjak kepergian ayah.

Ibu bahkan memainkan dua peran sekaligus, ia menjadi Ibu sekaligus Ayah. Terkadang Ia menjadi kawan sekaligus sahabat. Semoga Ibu tetap menjadi ibu.

Saya sebenarnya ingin berkisah banyak disini, tapi saya memilih untuk menyimpan cerita-cerita ini di tempat lain. Tulisan ini biar saya persembahkan untuk Ibu, almarhum Bapak, Widya, dan adik-adik.

Untuk Ibu, biarlah kali ini Ibu yang merawat kami. Kami yang merepotkan Ibu. Saya yakin, hari mendatang pendidikan yang Ibu perjuangkan akan berbuah baik. Bukan hanya kepada Ibu, bahkan untuk seluruh masyarakat.

Penulis merupakan Volunteer YLBHI-LBH Makassar.