Kampus; Mesti Melek Politik, Bukan Politik Praktis


Penulis.

*Oleh Muhammad Syarif

MAKASSARBICARA.ID – Memasuki tahun politik, kampus seharusnya tidak buta dalam memandang berbagai isu politik yang ada. Bahkan seharusnya kampus terlibat aktif dalam merespon berbagai isu politik.

Seperti yang disampaikan oleh Jurgen Habermas, dalam bukunya berjudul ‘The Structural Transformation of the Public Sphere’ (1962), membahas peran universitas dalam menciptakan ruang publik yang berfungsi sebagai tempat pertukaran ide politik dan diskusi.

Diskusi tentang politik dalam lingkungan kampus bukanlah fenomena tabu dan baru. Namun tentu kita harus jeli melihat berbagai macam polarisasi partai politik yang kian mudah memasuki kampus untuk melancarkan segala kepentingannya.

Seperti yang tertuang dalam putusan (MK) nomor 65/PUU-XXI/2023 mengenai perizinan partai politik untuk berkampanye di institusi pendidikan termasuk kampus dan sekolah.

Perdebatan mengenai keterlibatan kampus sebagai tempat politik praktis tentu memiliki kontroversi dari tujuan kampus yang semestinya. Di mana kampus seharusnya ada di zona netral dan tidak berpihak pada golongan manapun dalam konteks politik.

Menelisik lebih jauh tentang MK, tujuan putusan tersebut tidak bisa dipandang naif untuk membuat generasi muda tidak buta dalam perpolitikan nasional.

Sebab data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada 2024 jumlah pemilih muda mencapai 56% total Daftar Pemilih Tetap (DPT), 22,85% dari generasi Z dan 33,60% milenial.

Sehingga pemilih muda jauh lebih besar dan tidak bisa dipungkiri perkumpulan sebagian anak muda itu ada di kampus.

Jika tujuannya agar generasi muda melek akan politik tentu cukup dengan melanggengkan tradisi literasi seperti diskusi, membaca, dan agenda konsruktif lainnya.

Ketika kampus dijadikan sebagai tempat berkampanye dalam kontestasi politik, tentu para aktor kampus akan berpeluang mengalihfungsikan kekuasaannya untuk melancarkan segala kepentingan politiknya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa politik kita sarat akan transaksi (politik balas budi).

Logikanya, seperti pemilihan rektor di perguruan tinggi. Rektor dipilih dari 35% suara kementerian, masa iya tak ada balas budi di sana?

Oleh karenanya penting untuk menghindari pengaruh tersebut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Derek Bok dalam bukunya, ‘Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education’ (2003), bahwa politisasi kampus dapat mengganggu kepemimpinan dan manajemen universitas, serta mempengaruhi citra universitas di mata masyarakat.

Yang penulis takutkan ketika aktor kampus, seperti Rektor, memilih terjun berkontestasi dalam ajang pemilihan. Entah di ranah legislatif, gubernur, atau yang lainnya.

Masa iya mereka tidak memakai kekuasaannya untuk meraih suara dari para mahasiswanya? Atau memakai mahasiswa sebagai alat timses di kampus?

Dampaknya, aktor-aktor tersebut malah sibuk dengan agenda politiknya seperti pemasangan spanduk atau ngumpul di warkop untuk membahas strategi kemenangannya ketimbang memikirkan keresahan yang dirasakan oleh mahasiswanya.

Maka dari itu penting menjadikan kampus sebagai tempat melek politik agar segala bentuk pola politik praktis mampu ditepis dengan gagasan. Karena tidak bisa dipungkiri perpolitikan nasional kita berbicara hanya persoalan untung rugi.

Sehingga yang kaya gagasan akan ditumbangkan oleh yang memberikan keuntungan praktis. Tentu keuntungan yang dimaksud tidak berdasar, bisa saja mengakibatkan kerusakan atau tidak.

Kalau lebih jeli melihat progres lembaga-lembaga kemahasiswaan, yang kian hari meredup dan tak menjadi tumpuan untuk meluapkan keresahan dari berbagai problem yang ada, itu dikarenakan adanya politik pemecah belah.

Sebab, imbas dari kampanye politik ini akan memunculkan kelompok-kelompok yang berseberangan. Maka hal tersebut akan berdampak pada konflik kepentingan antar sivitas akademika.

Sehingga pertumbuhan pertukaran ide dan dialog yang kritis akan hilang dan digantikan dengan pengadu domba serta saling curiga antar sesama.

Penulis merupakan pegiat literasi.