Kapitalis dan Prostitusi Seksual


Penulis

Oleh Muh Nur Ichzan*

MAKASSARBICARA.ID – Prostitusi adalah kegiatan berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan yang dilakukan di tempat-tempat tertentu (lokalisasi, hotel, tempat rekreasi dan lain-lain) dan pada umumnya mereka mendapatkan uang setelah melakukan hubungan badan.

Para penjual diri tersebut sering disebut WTS (Wanita Tuna Susila). Mereka adalah para wanita yang tidak mempunyai susila (adab, akhlak, kesopanan).

Sedang para pembelinya disebut hidung belang, yaitu para pembeli sex yang menghambur-hamburkan uangnya demi terpuaskannya nafsu birahi.

Lokalisasinya disebut kompleks pelacuran atau ajang berkumpul dalam melakukan pesta sexnya. Adapun orang yang menampung para pelacur dan hidung belang dalam melakukan transaksi sexnya disebut mucikari atau germo.

Orang inilah yang amat mendukung terlaksananya pesta maksiat itu. Ia mendapat sekian persen imbalan dari penghasilan para pelacur.

Profesi semacam itulah yang banyak diminati kaum remaja masa kini, terutama yang berdomisili di kota-kota besar. Sungguh memprihatinkan bila melihat kondisi remaja zaman sekarang.

Masih berusia belasan tahun sudah sering dibawa oleh om-om hidung belang, dengan mobil mewah ke sebuah cottage, villa maupun bungalow. Disitu mereka asyik masuk melakukan kemaksiatan dengan imbalan tertentu.

Remaja ini sering disebut dengan istilah perek atau perempuan eksperimen. Apapun namanya ia tetap seorang pelacur, meskipun hanya menjual dirinya kepada hidung belang yang berkantong tebal pencari daun muda untuk teman kencan seksnya.

Pelacuran sudah ada sejak zaman para nabi. Namun pelacur-pelacur dahulu berprofesi secara terselubung, sebab mungkin saja para pelakunya masih mempunyai sedikit rasa malu dengan sesama manusia.

Kebanyakan profesi ini dilakukan pada zaman dahulu karena keterpaksaan, disebabkan ekonomi yang morat-marit.  Sekarang pelacur benar-benar sudah menjadi pekerjaan atau suatu profesi, bukan karena keterpaksaan.

Mereka menyediakan tubuhnya untuk dijamah dan dijajah, asal dengan imbalan yang tertentu. Pelacuran zaman sekarang dilakukan dengan terbuka, terang-terangan, seakan mereka justru bangga berprofesi menjadi pelacur.

Pekerjaan ini seakan bukan lagi aib di masyarakat, bahkan ada sebagian masyarakat yang menyediakan tempat untuk para pelacur bermaksiat.

Menurut mereka pekerjaan seperti  ini enak, kerja ringan tapi bayaran tinggi. Paling sedikit kerja hanya 10 menit sudah mendapat imbalan dengan harga yang tinggi.

Itulah mengapa mereka menggeluti dunia hitam ini. Pada peristiwa pelacuran itu ada dorongan-dorongan seks yang tidak terintegrasi dengan kepribadian.

Artinya, implus-implus seks itu tidak terkendali oleh hati nurani.

Selanjutnya, dipakailah teknik-teknik seksual yang amat kasar dan provokatif dalam sanggama.

Bersifat impersonal karena berlangsung ereksi tanpa perasaan, emosi dan kasih sayang sehingga dilakukan dengan cepat tanpa orgasme pada pihak wanita/pelacurnya.

Fenomena yang terjadi bukan lagi rahasia karena apabila ditelusuri lebih mendalam sungguh malang nasib anak muda semacam ini. Pagi belajar di sekolah sementara malamnya keluyuran ke diskotik, ke mall-mall yang memang biasa untuk mangkal.

Khusus untuk perek remaja, sekarang ada istilah “Ayam Abu-abu”. Sebutan ini muncul karena mereka berkeliaran memakai seragam sekolah, yakni putih abu-abu untuk seragam  menengah atas dan putih biru untuk seragam sekolah lanjutan pertama.

Kehidupan masyarakat yang semakin dinamis menjadikan profesi dan jenis pekerjaan juga semakin berkembang. Sejalan dengan itu profesi yang dimasukan dalam kategori pelacuran antara lain ialah:

  1. Pergundian: pemeliharaan bini tidak resmi, bini gelap atau perempuan piaraan. Mereka hidup sebagai suami istreri, namun tanpa ikatan perkawinan. Gundik-gundik orang asing ini pada zaman pemerintahan belanda disebut nyai.
  2. Tante girang atau loose married woman: yaitu wanita yang sudah kawin, namun tetap melakukan hubungan erotic dan seks dengan lak-ilaki lain; baik secara iseng untuk mengisi waktu kosong, bersenangsenang “just for fun” dan mendapatkan pengalaman-pengalaman seks lain, maupun secara intensional untuk mendapatkan penghasilan.
  3. Gadis-gadis panggilan: ialah gadis-gadis dan wanita-wanita biasa yang menyediakan diri untuk dipanggil dan dipekerjakan sebagai prostitute, melalui saluran-saluran tertentu. Mereka ini terdiri atas ibu-ibu rumah tangga, pelayan-pelayan toko, pegawai-pegawai, buruh-buruh perusahaan, gadis-gadis lanjutan, para mahasiswi, dan lain-lain.
  4. Gadis-gadis bar atau B-girls: yaitu gadis-gadis yang bekerja sebagai pelayan-pelayan di bar atau di wilayah yang biasa dijadikan tempat nongkrong dan sekaligus bersedia memberikan layanan seks kepada para pengunjung.
  5. Gadis-gadis juvenile delinquent: gadis-gadis muda dan jahat yang didorong oleh ketidakmatangan emosi dan retardasi/ keterbelakangan inteleknya sehingga menjadi sangat psaif dan sugestibel sekali. Karakternya sangat lemah. Sebagai akibatnya mereka itu mudah sekali jadi pecandu minuman keras atau alkohol, dan obat-obat bius (ganja, heroin, morfin, dan lain-lain), sehingga mudah tergiur melakukan perbuatan immoril seksual dan pelacuran.
  6. Gadis-gadis binal atau Free Girls: di Bandung mereka menyebut diri sebagai ‘bagong lieur’ (babi hutan yang mabuk). Mereka adalah gadis-gadis sekolah atau putus sekolah, putus studi di akademi atau fakultas, dengan pendirian yang “brengsek” dan menyebarluaskan kebebasan seks secara ekstrem untuk mendapatkan kepuasan seksual. Mereka menganjurkan seks bebas dan cinta bebas.
  7. Gadis-gadis taxi (di Indonesia ada juga gadis-gadis becak): yaitu wanita-wanita cantik dan gadis-gadis panggilan yang ditawarkan dibawa ketempat ‘plesiran’ dengan taksi-taksi atau becak.
  8. Penggali emas atau gold-diggers: yaitu gadis-gadis dan wanita-wanita ratu kecantikan, pramugari/mannequin, penyanyi, pemain panggung, bintang film, pemain sandiwara, teater atau opera, anak wayang, dan lain-lain yang pandai merayu serta bermain cinta untuk mengeduk kekayaan orang-orang berduit. Pada umumnya mereka itu sulit diajak bermain seks. Yang diutamakan oleh mereka ialah menggali emas dan kekayaan daripada ‘kekasihnya’.
  9. Hostes atau pramuria: perempuan yang menyemarakkan kehidupan malam dalam nightclub (seperti Vide EL Ci Ci, Mirasa, Nirwana, Golden Gate, Bina Ria, Mini Disco, Tanamur di Jakarta). Pada intinya, profesi hostes merupakan bentuk pelacuran halus. Sedang pada hakikatnya, hostes itu adalah predikat baru dari pelacuran. Sebab, di lantai-lantai dansa mereka membiarkan diri dipeluk, dicium, dan diraba-raba seluruh badannya. Juga di meja-meja minum badannya rela diraba-raba dan diremas-remas oleh langganan. Para hostes ini harus melayani makan, minum, dansa, dan naluri-naluri seks para pelanggan. Dengan demikian langganan bisa menikmati kesenangan suasana tempat-tempat hiburan.
  10. Promis kuitas/promiscuity ialah: berhubungan seks secara bebas dan awut-awutan dengan pria mana pun juga; dengan banyak laki-laki.

Dari penjelasan di atas tentang jenis-jenis pekerjaan pelacuran, tema dalam penelitian ini masuk dalam kategori B-girl.

Karena gadis-gadis tersebut bukan hanya bekerja sebagai pelayan-pelayan warung kopi biasa melainkan mereka juga memanfaatkan tubuhnya untuk melayani para pengunjung. Sehingga penghasilan mereka bertambah dengan adanya warung kopi pangkon ini.

Alasan-alasan mengapa seseorang menjadi pelacur bisa sangat kompleks, tidak saja dari prostitusi itu sendiri melainkan juga dari keluarga dan masyarakat di sekelilingnya. Tetapi ada pula yang  secara sengaja menjadi pelaku prostitusi.

Faktor pendorong menjadi pelacur di antaranya:

  1. Terdesak keadaan ekonomi sehingga memaksa seseorang untuk menjalani  prostitusi. Termasuk dalam faktor ini antara lain berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah, kebutuhan mendesak untuk mendapatkan uang guna membiayai diri sendiri maupun keluarganya, tidak mempunyai sumber penghasilan, tingkat pendidikan rendah, minimnya keterampilan, dan sengaja dijual oleh keluarganya ketempat pelacuran.
  2. Ikut arus, prostitusi dianggap sebagai pilihan yang mudah dalam mencari nafkah karena rekan-rekan mereka di kampung sudah melakukannya dan bagi masyarakat daerah mereka pelacuran merupakan alternatif pekerjaan.
  3. Frustasi. Kegagalan seseorang untuk mencapai tujuan hidup disebut fustasi. Jika seseorang mendambakan kehidupan rumah tangga yang bahagia nyatanya mengalami perceraian, ia akan frustasi. Seorang yang mencintai kekasihnya akan frustasi bila mengalami kegagalan cinta. Keadaan ini dapat menimbulkan rasa kecewa dan sakit hati. Pada umumnya mereka yang terlibat dalam prostitusi karena ingin membalas sakit hatinya.

Ada beberapa sebab yang menjadikan anak remaja baik putra maupun putri melakukan penyimpangan seksual, antara lain adalah:

  1. Kurangnya kemampuan remaja untuk mengontrol dan mengendalikan diri, terutama emosinya. Hal ini membuat remaja melakukan hal-hal negatif diantaranya hubungan seks bebas tanpa disertai berpikir panjang tentang dampak yang ditimbulkan ke depan.
  2. Adanya ketidakstabilan psikis. Karena jiwanya masih belum mampu mengendalikan emosinya, maka mudah menjerumuskan remaja dalam melakukan perbuatan negatif. Hal ini dilakukan oleh para remaja sebagai pelampiasan dari segala problem yang sedang menhimpit jiwanya.
  3. Adanya kebimbangan pada dirinya karena merasa belum pernah menemukan norma yang bisa dijadikan pegangan hidup. Sehingga melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma-norma susila dan agama.

Adapun konsekuensi yang dihadapi oleh prostitusi yaitu:

  1. Perlakuan yang diterima dari pelanggan seperti tidak dibayar setelah melakukan hubungan seksual, menghadapi kekerasan yang mengancam nyawa, dan melakukan hubungan seksual yang tidak wajar.
  2. Pelacur yang hamil cenderung melakukan pengguguran kandungan yang dapat mengancam nyawanya.

Selanjutnya kita membahas tentang seksualitas dan kapitalisme. Dalam kamus bahasa Indonesia, kata yang berhubungan dengan seksualitas hanya kata ‘seksuil’, yaitu yang berkenaan dengan jenis kelamin (laki-laki atau perempuan); yang berkenaan dengan perkara percampuran antara laki-laki dan perempuan.

Bertolak dari pengertian ini, saya mencoba membahas apa itu seks. Seks berarti tindakan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan.

Ada juga hubungan seks yang dilakukan sesama jenis, misalnya laki-laki dengan laki-laki, biasanya dilakukan seks oral atau anal, dan perempuan dengan perempuan.

Dalam pembahasan ini saya hanya membahas seks yang berkaitan antara laki-laki dan perempuan. Kontak badan antara yang berlawanan jenis bisanya menimbulkan gairan seksual.

Banyak orang mengatakan bahwa gairah itu bagaikan diguncang aliran listrik bagi setiap orang yang mengalaminya. Hubungan badan ini memberi kenikmatan dan kepuasan bagi pelakunya.

Dengan demikian hampir setiap orang mencarinya dan tidak terkecuali kaum muda yang masih dalam tahap pendidikan serta pubertas yang kerap tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya.

Seksualitas adalah budaya manusia yang tertua.

Pada pengertian lain tertulis pula bahwasannya seksualitas adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan.  Sampai saat ini masalah seksualitas selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan

Hal ini dimungkinkan karena masalah seksualitas telah melekat pada diri manusia. Di dalam sejarah agama-agama, seksualitas adalah bagian penting dari proses reproduksi.

Demikian pula dapat dikatakan bahwa usia seksualitas hakikatnya adalah setua usia manusia itu sendiri.

Sebagaimana makhluk Tuhan lainnya, tradisi seksualitas ditransformasikan secara alami dan natural, tanpa harus melalui proses pendidikan khusus.

Ketika manusia menginjak usia dewasa atau matang perlengkapan seksualitas maka ketika itu pula ia dapat melakukan tindakan seks yang akan terus berkembang sedemikian rupa.

Seksualitas adalah domestic area, sangat private, namun memiliki kekuatan luar biasa di dalam kehidupan manusia. Karena seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk hidup sehingga dapat terus bertahan menjaga kelestarian keturunannya.

Sebelum mengetahui kaitan antara seksualitas dan kapitalisme dijelaskan terlebih dahulu tentang pengertian umum.

Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi dimana sejumlah besar pekerja, yang hanya memiliki sedikit hak milik, memproduksi komuditas-komuditas demi keuntungan sejumlah kecil kapitalis yang memiliki hai-hal berikut: komuditas-komuditas, alat-alat produksi, dan bahkan waktu kerja para pekerja karena mereka membeli para pekerja tersebut melalui gaji.

Namun pengerttian sentral Marx adalah bahwa kapitalisme lebih dari sekedar sistem ekonomi.

Paling penting lagi, kapitalisme adalah sistem kekuasaan. Para kapitalis bisa memaksa para pekerja dengan kewenangan mereka dan bebas untuk menggunakan paksaan yang kasar.

Maka kapitalisme tidak hanya menjadi sekedar sistem ekonomi karena pada saat yang sama juga merupakan suatu cara untuk menjalankan kekuasaan lewat proses ekploitasi para pekerja.

Dengan kata lain, kapitalisme adalah suatu ideologi yang  mengagungkan kapital milik perorangan atau milik sekelompok kecil masyarakat sebagai alat penggerak kesejahteraan manusia. Kepemilikan kapital atau modal adalah segala-galanya.

Modal adalah panglima. Jadi, semua yang ada di dunia ini harus dijadikan kapital perorangan atau kelompok tertentu untuk memperoleh keuntungan.

Mekanisme kapitalisme biasanya melalui sistem kerja upahan, di mana kaum pekerja (buruh) diperas, ditindas, dan dihisap oleh kaum borjuis (pemodal/pengusaha).

Kaum buruh sendiri diasumsikan akan naik taraf hidupnya karena mendapatkan upah yang pasti dari para pengusaha atau pemilik modal. Kemunafikan masyarakat borjuis (pemilik modal) dilandasi oleh logikanya yang menyimpang.

Kendati begitu, kemunafikan terpaksa menerima beberapa kompromi. Jika berbagai seksualitas yang menyimpang itu memang terelakan, biarlah hal ini terjadi di tempat lain : misalnya di tempat penyimpangan itu dapat diterima, kalaupun bukan disektor produktif, paling tidak di sektor pembawa untung.

Rumah pelacuran dan rumah sakit jiwa adalah tempat yang mentolelir seksualitas menyimpang: pelacur, langganan, dan mucikari.

Secara sembunyi-sembunyi seksualitas dialihkan ke dalam serba duit, dipertukarkan di tempat pelacuran dengan harga tinggi. Selama dua abad penuh, sejarah seksualitas tampak sebagai tindakan represif yang menekan.

Dijelaskan bahwa represi sejak zaman klasik, merupakan dasar sesungguhnya yang menghubungkan kekuasaan, pengetahuan dan seksualitas, namun tidak semudah itu membebaskan diri darinya. Kita harus membayar mahal, dengan melanggar hukum, membiarkan kenikmatan seksual tampil kembali dalam kenyataan.

Mengenai kapitalisme dalam memandang kehidupan. Kapitalisme adalah sebuah paham yang memandang kehidupan di dunia berdasar pada materi (capital, modal) saja. Itu secara sederhana dan esensinya.

Wanita dalam dunia kapitalisme dianggap sebagai bahan eksploitasi. Wanita dalam dunia kapitalisme harus berjuang dan rela untuk diperjualbelikan dengan cara sadar atau tidak sadar.

Dalam kapitalisme, wanita ibarat sebuah komoditi yang bisa mendatangkan keuntungan. Contohnya wanita dibolehkan untuk mengumbar kelembutan yang mereka miliki dengan cara berpakaian yang tidak menutup aurat.

Lihatlah wanita-wanita zaman sekarang, mereka dipaksa untuk membuka auratnya secara sadar atau tidak sadar. Mereka baru bisa diterima bekerja jika menampakkan bentuk dan lekuk tubuhnya., semisal bekerja sebagai SPG.

Di dalam dunia kapitalisme, wanita yang baik-baik dalam artian menutup aurat atau berjilbab dikatakan sebagai wanita yang ketinggalan zaman dan kuno. Wanita tidak lebih dijadikan sebagai obyek seksual.

Lebih lanjut, dalam dunia kapitalisme ternyata angka pelacuran dan pemerkosaan semakin meningkat. Hal ini dikarenakan sistem pergaulan yang diterapkan adalah sistem pergaulan permisif, serba boleh.

Sungguh banyak derita yang dialami wanita di era kapitalisme sekarang ini. Mereka hanya menjadi objek pemuasan seks belaka, bahkan hampir tidak ada lagi harganya.

Tengoklah misalnya di negera-negara barat penganut kapitalisme, ciuman, pelukan, dan free sex sudah bukan barang aneh lagi buat mereka.  Bahkan di tempat-tempat umum sekali pun.

Penulis merupakan Alumni UIN Alauddin Makassar.