Kemerdekaan yang Dipertanyakan


Oleh: Muhammad Tamrin

Makassarbicara.id – Kurang sepekan lagi indonesia akan merayakan hari kemerdekaan yang ke-78. Usia yang cukup matang untuk menjadi negara makmur, sejahtera, berkeadilan, serta berdikari tanpa tekanan dari pihak manapun. 

17 Agustus adalah hari yang sakral, setiap tanah lapang yang dikelilingi bendera merah putih dijadikan tempat paling khidmat untuk mengenang jasa para pejuang kemerdekaan negeri ini. Namun kesakralan itu tenggelam oleh gemuruh teriakan kegembiraan, tatkala pagelaran berbagai lomba dimulai.

Lomba-lomba itu menjadi obat pelipur lara, atas luka yang tidak akan pernah hilang dari sejarah bangsa ini dan akan abadi membekas di batin warganya.

Namun, pertanyaannya, sudahkah kemerdekaan ini mendatangkan  kemakmuran dan keadilan bagi seluruh penduduknya tanpa terkecuali, Sudahkah keadilan dirasakan oleh semua kalangan, sudahkah negeri ini berdaulat tanpa tekanan dari pihak asing, dan kemerdekaan ini sebenarnya untuk siapa?.

Pertanyaan-pertanyaan ini penting sebagai refleksi negeri ini untuk berada di kondisi yang benar-benar  merdeka.

Fisik Terbebas, Namun Ekonomi Tidak

Kementerian Keuangan melaporkan bahwa utang pemerintah saat ini mencapai Rp 7.849,89 triliun. Kalau utang itu dibagi perkapita, maka setiap warga negara menanggung utang negara sebesar Rp 28 juta.

Jika utang ini dikelola serampangan, maka negara ini berpotensi  mengalami krisis moneter yang lebih dahsyat melebihi peristiwa 97/98. Dengan utang sebanyak itu nikmat ekonomi hanya bisa dirasakan segelintir orang  saja.

Setidaknya laporan Global Wealth Report 2018 yang dirilis credit suisse menunjukan bahwa 1% orang terkaya di indonesia menguasai 46,6 total kekayaan penduduk dewasa negeri ini, dan 10% orang terkaya  menguasai 75,3% total kekayaan penduduk.

Selain itu World Bank mencatat bahwa 40% warga indonesia terkategori miskin, perhitungannya ialah 2,15 dollar AS perkapita perhari atau setara dengan Rp 967.950 perkapita perbulan. Artinya setiap warga yang berpenghasilan di bawah itu maka terkategori miskin.

Sementara itu, sumber daya alam yang melimpah ruah mestinya menjadi corong terwujudnya kesejahteraan. Hanya saja, lakon sebagian elit tak menginginkan pengentasan kemiskinan.

Begitu banyak kasus, SDA kita hanya dimonopoli orang tertentu, lalu hasilnya dijual ke negeri asing. 

Contoh kasusnya adalah smelter nikel di negeri ini, justru banyak dikuasai perusahaan asal China. Biji nikel dibandrol dengan harga yang sangat murah oleh elite negara ini.

Pemerintah juga memberikan kebijakan tax holiday selama 30 tahun, diperkirakan indonesia akan tekor sebesar 32 triliun dari investasi smelter nikel asal China. Itupun belum termasuk kerugian kerusakan alam dan lingkungan, serta perampasan ruang hidup masyarakat di sekitar kawasan perusahaan ataupun tambang.

Di sisi lain, bangsa yang merdeka juga seharusnya menjamin perlakuan hukum yang adil. Faktanya, berdasarkan survei Litbang Kompas, Mei 2023 ditemukan bahwa penegakkan hukum masih menjadi bidang dengan nilai kepuasan publiknya yang rendah. Ini menunjukan bahwa adanya indikasi rakyat kian tidak percaya dengan penegakan hukum negeri ini.

Mengutip perkataan dari Soekarno  ‘Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri’.

Sebuah ramalan yang akhirnya terwujud hari-hari ini. Negara pun harus menjamin kemerdekaan pendidikan, ini sejalan dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “pemerintah Negara Indonesia berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa”. Lebih lanjut pada pasal 31 UUD 45 ayat 1 juga dicantumkan: “Tiap-tiap warga Negara berhak untuk mendapatkan pengajaran”.

Namun faktanya komersialisasi pendidikan masih menjadi parasit yang mematikan generasi bangsa ini.

Lembaga pendidikan kita hanya mementingkan uang. Menjanjikan pelayanan pendidikan tetapi tidak sepadan dengan uang yang mereka pungut.

Bentuk komersialisasi pendidikan yang terjadi yaitu biaya pendidikan mahal, banyaknya pungutan-pungutan lembaga pendidikan, pendidikan sebagai ladang bisnis, gejala stigmatisasi dan diskriminasi antara kaya dan miskin, rantai kemiskinan yang sulit diputuskan melalui pendidikan,  perubahan misi pendidikan dari budaya akademik menjadi budaya ekonomi.

Tentunya semua didukung oleh regulasi pemerintah yang condong untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Branding “merdeka” akan di temui dalam konstitusi, kurikulum, dan politik. Yang hendak dimerdekakan sebenarnya apa?.

 

Penulis adalah Kabid sospol HIMATEP FIP UNM