Ketertinggalan dan Tantangan Modernitas: Sebuah Refleksi atas Agama, Politik, dan Masa Depan


Oleh Fajar*

Penulis merupakan penggagas Lembaga Kajian Mahasiswa Islam (LKMI)

Makassarbicara.id – Ketika kita membicarakan ketertinggalan dunia Muslim, sebaiknya jangan terburu-buru menunjuk ke luar dan menyalahkan kolonialisme, kapitalisme global, serta dominasi barat.

Dalam buku Ahmet T. Kuru Otoritarianisme dan Ketertinggalan, penjelasan yang disampaikan bergerak ke arah yang lebih menyakitkan. Dia mengatakan bahwasanya ketertinggalan dunia Muslim justru bersumber dari dalam, dimana persekutuan antara para ulama dan negara mulai banyak bermunculan. Hal ini menghambat kreativitas intelektual, serta struktur kekuasaan yang mengekang kebebasan berpikir dan dari cara agama dikonstruksi menjadi alat legitimasi kekuasaan.

Dalam konteks ini, agama tidak lagi berfungsi sebagai kekuatan pembebas, melainkan menjadi alat instrumen stabilitas semu yang menghambat lahirnya nalar kritis dan inovasi.

Hal yang sama, akan tetapi dengan pendekatan yang berbeda, disampaikan oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Pelajaran untuk Abad ke-21. Bagi Yuval, dunia hari ini bergerak terlalu cepat bagi mereka yang masih terpaku pada narasi-narasi lama. Revolusi digital, kecerdasan buatan menuntut kita berpikir ulang bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal makna kemanusiaan itu sendiri.

Dalam pandangannya, sistem kepercayaan tradisional termasuk agama, tidak lagi memadai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar abad ini. Ketika kita masih sibuk mempersoalkan batas-batas identitas lama, dunia sudah bergerak ke arah yang bahkan tak sempat kita pahami lagi.

Ada satu titik temu yang kuat antara dua pandangan diatas, bahwa ketertinggalan dunia Muslim bukan soal keterbatasan sumber daya, akan tetapi soal cara berpikir. Masyarakat yang tidak diberi ruang untuk bertanya, mempertanyakan, dan meragukan, tidak akan mampu bertahan dalam dunia yang terus berubah. Dalam masyarakat otoriter, ilmu pengetahuan sering kali dicurigai, sementara kepatuhan begitu dibesar besarkan. Yuval menyebut ini sebagai tantangan eksistensial, ketika algoritma dan mahadata semakin mengatur hidup manusia, hanya mereka yang mampu berpikir mandiri dan kritis yang akan bertahan.

Pertanyaan penting kemudian muncul, bagaimana peran agama di tengah arus kemajuan teknologi ini? Apakah agama akan tetap menjadi benteng pertahanan terhadap perubahan, atau justru ikut menjadi bagian dari pembaruan?

Dalam banyak konteks dunia Muslim, agama masih erat diikat oleh negara. Tafsir keagamaan dikendalikan dan diseragamkan, dengan dalih menjaga stabilitas dan ketertiban. Sayangnya, stabilitas yang dibangun dari pengekangan kebebasan intelektual sering kali menimbulkan biaya yang jauh lebih besar serta hilangnya kemampuan untuk beradaptasi.

Modernitas tidak bisa ditolak hanya karena terasa asing atau menantang keyakinan lama. Justru di sinilah agama diuji, apakah ia mampu membuka diri terhadap ilmu pengetahuan dan realitas baru, atau tetap bertahan dalam zona nyaman yang perlahan-lahan usang. Tentunya refleksi ini membawa kita pada kesimpulan sementara bahwa ketertinggalan dan kemajuan bukan hanya persoalan struktural atau ideologis, tetapi juga spiritual terkait dengan keberanian untuk berubah, belajar, dan untuk mengakui bahwa kebenaran tidak pernah selesai.