*Oleh Ian Hidayat
MAKASSAR – Sudah sepekan sejak saya bersama kawan-kawan IMM Gowa melayangkan surat pernyataan sikap terkait tidak etisnya kepemimpinan DPD IMM Sulsel. Kami tak kunjung menerima balasan tanggapan, baik tertulis maupun panggilan secara resmi. Alih-alih membenahi, desas-desus ‘pesanan partai’ justru dialamatkan pada kami.
Dari surat tersebut, saya berdiskusi bersama kawan-kawan soal efek negatif yang ditampilkan para petinggi DPD IMM. Yang ditakutkan justru terjadi.
Kabar batalnya penyelenggaraan Darul Arqam Dasar (DAD), sebagai proses formal awal pengkaderan di IMM Gowa adalah bukti nyata efek negatif tesebut. Apalagi IMM Gowa tumbuh berkembang tanpa sokongan formal dari birokrasi.
Di Gowa, IMM hidup di UIN Alauddin yang notabene punya budaya Islam Kultural cukup kuat. Persaingan dengan organisasi filantropi lain adalah salah satu tantangan untuk mengajak mahasiswa masuk di IMM. Sekarang pertanyaannya, bagaimana meyakinkan mahasiswa untuk bergabung ke IMM?
Beberapa hari sebelum kabar pembatalan, seorang kawan meminta saya untuk menjadi instruktur DAD. Terbersit pertanyaan, bagaimana meyakinkan mahasiswa untuk bergabung ke IMM? Kawan tersebut menjawab minta saja mereka berproses di IMM.
Saya mencoba menanggapi jawaban tersebut melalui tulisan ini. IMM adalah organisasi perpanjangan tujuan Muhammadiyah dalam aspek kemahasiswaan. Muhammadiyah adalah organisasi yang mencita-citakan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, filantropinya berangkat dari Q.S Ali Imran 104:
Hendaklah ada segolongan umat di antaramu yang menyeru pada kebaikan, menyuruh yang maruf dan mencegah yang munkar. Merekalah orang orang yang beruntung.
IMM merumuskannya dalam 3 hal yaitu intelektualitas, religiulitas, dan humanitas. Sebagai organisasi ideologis terstruktur, yang paling bertanggung jawab menerapkan nilai tersebut adalah pimpinan IMM. Mari melihatnya menggunakan kacamata Murtadha Muthahhari.
Muthahhari merumuskan, kumpulan pengetahuan akan menghasilkan ideologi. Ideologi ini nanti yang menjadi acuan untuk berperilaku baik atau buruk. Muthahhari menambahkan, bahwa ideologi membutuhkan patron. Misal dalam Islam yang memposisikan Muhammad sebagai patronase atau Muhammadiyah yang patronnya adalah Ahmad Dahlan. Walau Ahmad Dahlan menolak disebut patron, tapi dialah yang dilihat publik untuk menggambarkan Muhammadiyah. Sekarang mari melihat IMM.
Misal praktik politik Ketua Umum DPD Sulsel yang menjalankan dua jabatan sekaligus serta Pimpinan DPP yang membuka ruang untuk partai oligarki. Bisakah hal tersebut mencerminkan amar maruf nahi mungkar yang disebutkan Ali Imran: 104?
13 Juni 2024, DPP IMM mengantar Musawir, mantan Ketua Umum DPP IMM, bergabung di Partai Solidaritas Indonesia (PSI). PSI dalam sepak terjangnya, gagal menjalankan demokrasi dengan baik. Ini bisa dilihat dari penunjukan Kaesang yang merupakan putra Jokowi sebagai Ketua Umum. Kaesang tidak punya catatan memimpin organisasi sebesar IMM atau birokrasi negara. Selain anak presiden, nama Kaesang dikenal sebagai seorang Youtuber, bukan sebagai politisi bahkan negarawan.
Dengan ditunjuknya Kaesang sebagai Ketua Umum, PSI menasbihkan dirinya sebagai penyokong gerakan politik dinasti yang dibangun oleh Jokowi. Mengkompromikan hal tersebut dan menjadi bagian partai berarti setuju dengan politik dinasti. IMMpun bisa saja melahirkan politik dinasti dalam organisasinya.
PSI juga punya catatan buruk dalam merumuskan kebijakan publik. PSI mendukung undang-undang bermasalah seperti UU KPK dan UU Cipta Kerja yang mendapat penolakan publik. Kebijakan tersebut menjadi alasan demonstrasi besar-besaran yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Perlu diketahui, pada saat RUU tersebut dibahas, IMM juga turut terlibat menyuarakan penolakan. Bahkan, kader IMM Kendari, Immawan Randi harus tewas dalam aksi demonstrasi tersebut. Sayangnya tanpa dialog yang panjang, IMM justru membuka ruang bergabung dengan PSI sebagai partai yang menyebabkan kematian Randi.
Sebagai manusia yang tumbuh dan belajar banyak di lingkungan Muhammadiyah terlebih IMM. Saya sebenarnya masih berharap IMM dapat membawa perubahan sosial yang lebih baik.
IMM punya metode alternatif yang menarik dalam dakwahnya. IMM juga mampu hadir sebagai organisasi pendidikan alternatif ketika kampus–kampus gagal melahirkan pendidikan yang kritis. Jik IMM Gagal membenahi dirinya, pertaruhan terakhir adalah ide pembubaran IMM. Ini bukanlah wacana tidak masuk akal, atau paling buruk adalah IMM menjadi organisasi semi–partai politik yang menyokong negara sebagai aktor perampasan ruang hidup dari kadernya sendiri.
Penulis merupakan Kabid Hikmah PC IMM Gowa.