Lakon Menuju Pesta Politik 2024


*Oleh Zulkifli

MAKASSARBICARA.ID – This is the game, begitulah kira-kira. Tidak terasa, 2024 segera tiba. Genderang pesta politik telah ditabuh. Elit politik sudah mulai bergerak. Strategi dan taktik jenderal maupun panglima siap untuk dijalankan. 

Dinamika politik setiap waktu selalu berubah. Tokoh elit politik ibarat sedang bermain catur di arena kotak hitam putih 64 petak.

Mereka bertarung, bertanding, dan bersaing untuk menang. Namun yakinlah, mereka tetap bersahabat di luar pertandingan.

Kita bisa melihat hal itu. Seperti dalam istilah politik, tak ada lawan dan kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan.

Ketika kepentingan mereka berbenturan, mereka akan saling serang dan menjatuhkan.

Dilain sisi, ketika kepentingan mereka sehaluan, mereka akan berkoalisi, dan saling rangkul.

Disitulah terkadang, persepsi tentang ‘panggung politik’ mirip panggung komedi, yang lebih lucu dari cerita opera dan sandiwara drama.

Tak salah, jika membicarakan nama dari elite satu per satu, maka publik cenderung akan memberi semacam sebuah anecdotal, satire dan meme yang tajam. 

Bagi kita, jangan tertipu oleh permainan sandiwara mereka, serta tidak terlalu fanatik atau anti terhadap figur dan kelompok tertentu.

Bisa saja, mereka sedang bersandiwara untuk kepentingan mereka, tujuannya untuk memenangkan hati publik untuk mengakomodir kepentingannya. 

Oleh sebab dengan kekuasaanlah seseorang bisa lebih mudah memperoleh harta, dan kesenangan.

*Sanjungan Politik

Sedikit memberi perspektif yang lain, bahwa seseorang bisa puas untuk selalu dikenang.

Para pemimpin yang bertengger di singgasana kekuasaan itu sedikit membagi kesenangan mereka kepada masyarakat, agar mereka ikut merasakan kesenangan itu. 

Mereka yang menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat, akan terus dikenang sebagai orang besar yang mampu mengangkat derajat rakyatnya.

Yang berbahaya adalah mereka yang rakus, yang lebih dominan memenuhi kebutuhan pribadi dibanding kepentingan masyarakatnya.

Tokoh ekonomi Adam Smith menggelari manusia sebagai Homo Economicus atau makhluk yang bertindak untuk mendapatkan kesejahteraan (well-being) setinggi mungkin untuk dirinya.

Sementara Thomas Hobbes dalam bukunya De Cive, mengatakan bahwa manusia sebagai Homo Homini Lupus yang artinya manusia adalah serigala bagi manusia lain. Suatu metafora simbolik yang menjelaskan sifat dan tabiat manusia yang kerap kali dapat berlaku kejam kepada sesama manusia. 

Keragaman istilah-istilah tersebut, mengilustrasikan adanya keunikan, dan eksotisme dari potret perilaku, watak, dan sifat dasar manusia dalam berbagai peran yang dimainkannya dalam berbagai aspek kehidupan. 

Lalu, bagaimana mengetahui sosok tokoh-tokoh di negara kita, termasuk golongan orang baik atau orang jahat di negeri ini?

Tentu tidak mudah, sebab strategi dan taktik telah diatur sedemikian rupa oleh mereka untuk memenangkan hati kita. 

Mereka menutup celah kelemahan dan hanya mengekspos kebaikan-kebaikan mereka. 

Mereka telah mengatur strategi untuk menghasut, mencerahkan dan menghibur masyarakat. Mereka dibantu banyak media, untuk berkamuflase, dan menebar daya tipu.

Sebagian dari kita atau bahkan semuanya mungkin termasuk saya adalah korban media.

Kita tidak mengenal sosok tokoh itu secara langsung. Kita digiring oleh opini publik yang digerakkan melalui jalur darat maupun udara. 

Sehingga rentetan informasi yang datang akan membentuk persepsi kita.

Anda boleh bicara jagoan saya paling cerdas, orang itu plonga-plongo, ini adalah seorang kesatria, ini cucu pejuang dan itu bukan dari keturunan pribumi.

Tapi anda harus ingat, itu masih persepsi anda dan bisa saja berbeda menurut persepsi yang lain. Oleh karena informasi yang diterima, bisa saja telah disusupi, untuk mengarahkan persepsi ke tujuan tertentu.

Puncaknya, harapan tinggallah harapan. Kita mesti belajar dari pesta politik sebelumnya, dimana kepentingan rakyat dikalahkan oleh kerasnya jual beli suara dan manuver politik.

Seringkali janji kampanye hanya sebatas komunikasi politik, untuk meraih simpati dan mendapatkan suara. 

Rancangan hebat saat kampanye jadi kendor saat diperhadapkan dengan realitas.

Akhirnya, sikap korupsi dan tidak amanah dalam menyuarakan dan menyerap kegelisahan rakyat, mewarnai hari-hari suram pasca pemilu digelar.

Penulis merupakan Sekertaris Panglima GAM 2021-2023