Ledakan di Subang dan Bahaya Depo BBM Makassar, Potret Kelalaian Mitigasi Risiko Nasional


Penulis : Daeng Mabbi’

MAKASSARBICARA.ID – Ledakan pipa gas milik PT Pertamina EP di Subang pada tanggal 5 Agustus 2025, yang melukai dua pekerja, adalah sebuah peringatan keras yang seharusnya tidak dianggap sebagai insiden biasa. Peristiwa ini bukan hanya kecelakaan operasional, melainkan sebuah manifestasi dari risiko sistemik yang telah lama diabaikan. Kejadian ini membuka kembali luka lama dan mengingatkan kita pada ancaman serupa yang jauh lebih besar dan sudah menjadi rahasia umum: keberadaan Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Makassar. Lokasinya yang dikelilingi permukiman padat penduduk adalah bom waktu yang menunggu untuk meledak, sebuah tragedi yang bisa jauh lebih fatal dari apa pun yang pernah kita saksikan.

Subang: Peringatan yang Terabaikan

Meskipun tim tanggap darurat Pertamina berhasil mengendalikan api dalam waktu singkat, insiden di Subang menunjukkan bahwa infrastruktur energi kita rentan. Kebocoran pipa, baik karena faktor usia, kegagalan teknis, atau kelalaian manusia, adalah risiko yang selalu ada. Pipa gas CO2 Removal yang meledak di Subang bukan hanya mengancam keselamatan pekerja, tetapi juga bisa membahayakan lingkungan dan masyarakat sekitar jika tidak ditangani dengan cepat. Tragedi ini seharusnya menjadi alarm untuk melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh fasilitas Pertamina di Indonesia, bukan hanya setelah bencana terjadi.

TBBM Makassar : Bom Waktu di Jantung Kota

Jika Subang adalah peringatan, maka TBBM Makassar adalah bencana yang tinggal menunggu waktu. Lokasi depo yang berada di Kecamatan Ujung Tanah, yang padat penduduk, sudah menjadi perhatian sejak lama. Sebuah riset mendalam yang dilakukan oleh Public Policy Network (Polinet) pada tahun 2023 mengungkap fakta yang sangat mencemaskan: jarak antara pagar depo dengan rumah-rumah warga hanya sekitar 19 meter. Angka ini jauh di bawah standar keselamatan internasional. Sebagai perbandingan, standar minimum yang direkomendasikan oleh American Petroleum Institute (API) adalah 60 meter, sementara National Fire Protection Association (NFPA) bahkan merekomendasikan 122 meter. Kesenjangan yang luar biasa ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman yang dihadapi oleh ribuan jiwa di sana.

Masyarakat Makassar hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Mereka mengetahui risiko yang mereka hadapi setiap hari, risiko yang bisa mengubah hidup mereka dalam sekejap jika terjadi ledakan, kebakaran, atau tumpahan bahan bakar. Pemerintah dan Pertamina tidak bisa lagi menutup mata pada fakta ini. Kita sudah punya contoh pahit, seperti tragedi Depo Plumpang pada 3 Maret 2023, yang menewaskan 33 orang dan melukai lebih dari 50 lainnya. Insiden Plumpang seharusnya menjadi pelajaran terpenting dalam sejarah pengelolaan energi kita. Namun, terkesan pelajaran itu belum sepenuhnya diserap, mengingat kondisi di Makassar yang masih berisiko tinggi.

Relokasi : Warga vs TBBM

Sudah terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk diskusi dan perencanaan yang tak berujung. Polemik tentang apakah TBBM yang harus direlokasi atau warganya harus segera diakhiri dengan keputusan konkret. Kedua opsi tersebut memiliki tantangan masing-masing, tetapi keselamatan manusia harus menjadi prioritas tertinggi.

Relokasi TBBM  adalah opsi yang paling aman dalam jangka panjang. Memindahkan depo ke lokasi yang lebih terpencil dan sesuai dengan standar keselamatan internasional akan menghilangkan risiko secara permanen. Meskipun membutuhkan investasi besar dan waktu, ini adalah satu-satunya solusi yang benar-benar berkelanjutan.

Relokasi warga juga  dapat menjadi solusi jangka pendek yang lebih cepat, tetapi memiliki kompleksitas sosial dan ekonomi yang tinggi. Proses relokasi harus dilakukan dengan adil, transparan, dan memastikan warga mendapatkan kompensasi yang layak serta tempat tinggal yang lebih baik.

Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus segera membentuk tim kerja yang diberi wewenang eksekutif untuk mengambil keputusan dan melaksanakannya. Pertamina sebagai BUMN juga harus menunjukkan komitmen serius dengan mengalokasikan anggaran dan sumber daya yang memadai. Waktu untuk studi kelayakan sudah habis, sekarang saatnya bertindak.

Ledakan di Subang adalah lonceng alarm yang berbunyi kencang. Ini adalah pengingat bahwa infrastruktur energi kita tidak kebal dari kecelakaan. Sementara kita berduka untuk korban di Subang, kita tidak boleh melupakan bom waktu yang berdetak di Makassar. Tragedi bukan hanya tentang apa yang sudah terjadi, tetapi juga tentang apa yang bisa dicegah. Kita tidak bisa lagi menunggu bencana yang lebih besar terjadi di Makassar. Keselamatan ribuan nyawa tidak bisa dinegosiasikan. Sudah saatnya pemerintah dan Pertamina bertindak tegas dan cepat, sebelum penyesalan menjadi satu-satunya yang tersisa.