Oleh TB Piet Asrar*
Pegelaran pemilihan wali kota (Pilwali) sudah mulai. Pelaksana dan wasit kontestasi sudah meniup peluit. Meski sebelumnya, penantang Si petahana sudah agak lama menyikut. Dan, petahana sudah lama seolah-olah menyiapkan diri dengan mempercantik diri.
Kontestasi wali kota ini menarik. Ini karena, terkhusus Kota Makassar, hanya ada dua kontestan. Pertarungan vis a vis, head to head begitu terasa. Maklum, yang dilawan adalah petahana
Sialnya, petahana ini begitu mengakar di tanah masyarakatnya. Tidak heran kalau penantang harus berusaha memantaskan diri dan berusaha menunjukkan bahwa sebenarnya petahana tidaklah layak. Hal yang wajar!
Pilwali ini harus diingat adalah pemilihan wali kota masyarakat cerdas. Sosok yang dipilih, diidamkan, dan diinginkan masyarakat adalah sosok pemimpin yang berkarsa. Masyarakat cerdas tentu tidak menginginkan sosok yang sekadar ingin berkuasa. Terlebih sosok yang tidak tahu medan kerja.
Masyarakat menginginkan pemimpin nyata bukannya manajer atau CEO. Dalam teori kepemimpinan, pemimpin nyata ini beda jauh dari manajer bahkan CEO. Pemimpin meniscayakan distribusi pengaruh, pelayanan, selain kemampuan manajerial. Sementara, manajer dan CEO hanya terkesan sebagai penerima manfaat atas kerja orang lain serta hanya fasih di ranah manajerial.
Tidak hanya itu, jika kita merujuk pada teori kepemimpinan, manajer dan CEO lebih mementingkan target bisnis atau fungsi perusahaan. Seorang manajer dan CEO hanya sibuk mengontrol kinerja berdasar standar operasional sementara pemimpin akan terus menyibukkan diri dengan membangun kepercayaan dan berinovasi.
Kita juga sudah fasih dengan pemahaman bahwa pemimpin adalah pelayan masyarakat. Pemimpin bekerja dan berkarya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemimpin mendengar suara rakyat lalu melaksanakan. Pemahaman seroang pemimpin sejati adalah dirinya adalah pihak yang diberi amanah untuk bekerja demi rakyat, bahkan rakyatlah atasannya. Sementara itu, manajer atau CEO telah terlalu terbiasa dilayani, digaji tinggi, dan memberi sesuai keuntungan yang didapati.
Kota dengan masyarakat cerdas tentu memahami bahwa sosok wali kota yang dipilihnya nanti adalah sosok yang memahami medan baktinya. Perlu dipertegas, medan bakti! Masyarakat cerdas membutuhkan pemimpin sejati yang tahu kondisi realitas sosial. Masyarakat menginginkan pemimpin yang telah memberi kerja nyata. Sekali lagi, pemimpin yang berbakti bukan manajer-CEO yang mendamba sekadar profit bisnis.
Masyarakat juga tahu mereka harus mempertahankan kepemimpinan yang dampak positifnya telah terasa. Kepada pemimpinnya, masyarakat cerdas tidak tanya “ia punya uang berapa?” Masyarakat cerdas pasti akan bertanya, “Akankah melayani masyarakat?”, “Mau kerja apa?”, “Bisa bikin apa?”, “Anda tahu apa?”, dan “Mana karyanya?”
Masyarakat Makassar tentu memahami wali kota adalah pelayan mereka. Wali kota bukan bos! Wali kota bisa menggerakkan masyarakatnya. Sementara itu, manajer-CEO hanya bisa menggerakkan karyawan-karyawannya yang takut dipecat dan dipotong gaji.