Makassar Milik “Bisnis” Kita


Oleh Ahmad Sangkala*

“ini biar showroom mobil jadi juga posko pemenangan, Kayak mau sekalimi jadi walikota. Bagaimana kalau jadimi, tambah nabisnisi maki. Bukan kota yang maju tapi perusahaannyaji ”. Begini kicauan salah satu netizen di halaman facebooknya.

Potret ini tentu menjadi hal miris bagi sebagian masyarakat kota Makassar. bagaimana tidak, Makassar sebagai kota dunia harusnya lebih modern dalam berdemokrasi. bukan menggerakkan semua potensi yang dimiliki untuk memenangkan kandidat tertentu.  Apa lagi menggerakkan mesin bisnis lebih jauh kerana politik.

“Mahar  partai politik”  yang muncul pada pemilihan kepala daerah setempat 2018 ini  menandakan bahwa politik transaksional semakin akut. Jika pilkada  sebelumnya money politik hanya untuk pemilih dilapangan, maka “mahar” parpol ini baru syarat pendaftaran. Bahkan informasi yang berkembang tak tanggung – tanggung harus menggelontorkan dana sampai puluhan milyar untuk mendapatkan rekomendasi  partai politik.

Hal ini tentu menjadi jebakan bagi kandidat kepala daerah untuk mengeluarkan dana yang besar, tentu secara nalar mereka akan mengembalikan modalnya ketika terpilih.
“Mahar partai politik” sebenarnya jika dianalisis lebih mendalam merupakan efek dari masuknya culture bisnis  kedalam dunia politik praktis. Dengan kuatnya culture bisnis di dunia politik membuat semuanya menjadi serba transaksional.

Idealisme penyelenggara akan dibeli, Suara rakyat di TPS akan dianggap sesuatu yang dibeli dengan jumlah uang tertentu, sehingga jika terpilih nanti mereka tidak lagi merasa bertanggung jawab kepada rakyat.
Jika culture bisnis sangat kuat berpengaruh pada pemilihan walikota Makassar, maka ini merupakan sebuah malapetaka demokrasi. Dimana politik transaksional menjadi warna yang digunakan oleh salah satu kandidat untuk memenangkan pertarungan. Mereka akan memassifkan money politik, mengintervensi karyawan perusahaan untuk memilih kandidat tertentu, serta menarik banyak investor untuk mensupport modal untuk memenangkannya. Hal ini berefek pada “penggadaian” aset dan potensi kota Makassar kepada investor tanpa mempertimbangkan efek positif bagi masyarakat.

Tentu kita sepakat Untuk tidak membiarkan Makassar mundur lagi. Olehnya itu, perlu kiranya masyarakat terlibat aktif dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan dikota Makassar beberapa bulan kedepan. Jangan biarkan kota ini tergadaikan kepada pemimpin yang bernalar bisnis dalam mengelola pemerintahan. Karena ini akan merusak tatanan demokrasi dan mencabut kearifan lokal kepemimpinan nenek moyang kita.

Beberapa pencapaian yang telah dicapai seperti Makassar sebagai kota paling Inovatif 2017, kota dengan pelayanan publik terbaik serta meraih adipura ASEAN tentu merupakan pencapaian yang luar biasa. Sehingga yang kita harapkan kedepan adalah pemimpin yang bukan bernalar bisnis, tapi yang visioner untuk mewujudkan Makassar dua kali tambah baik.