Pilwali Makassar; Perempuan Bisa Tonji


Oleh Ona Mariani*

Politik itu cair dan penuh kejutan. Mungkin kalimat ini yang cocok disematkan pada pemilihan calon walikota dan wakil walikota Makassar tahun 2018 yang pada bulan juni mendatang akan mencapai klimaksnya.
Kejutan pertama dimulai dari jumlah pasangan calon yang turut serta dalam bursa pemilihan pilwali. Dari beberapa nama yang digembor-gemborkan akan maju dalam perhelatan pesta lima tahunan itu, nyatanya hanya mengerucut menjadi dua pasangan calon yang siap dan konsisten untuk maju dalam memperebutkan kursi ibu kota Sulawesi Selatan ini.

Panggung politik Makassar kali ini menampilkan wajah lama dan sekaligus wajah baru. Pasangan pertama adalah petahana Ramdhan Pomanto dan Indira Mulyasari dengan jargon andalannya “Jangan Biarkan Makassar Mundur Lagi” dengan percaya diri maju melalui jalur perseorangan melawan APPI CICU (Munafri Arifuddin dan A. Rachmatika Dewi) yang maju dengan memboyong rekomendasi dari sepuluh partai besar.

Kali ini penulis tidak akan mengajak para pembaca untuk menerawang racikan strategi apa yang pas dari masing-masing pasangan calon untuk memenangkan kursi 01 Makassar, atau bahkan memperdebatkan kekurangan dan kelebihan antara masuk jalur perseorangan atau diusung partai yang tengah diperdebatkan di tengah kalangan akademisi.

yang menarik ialah komposisi pasangan calon pilwali tahun ini yang sama-sama mengusung calon perempuan sebagai wakil dengan kesamaan latar belakang yakni sebagai politisi.

Pengarusutamaan Gender Dalam Tata Kelola Kebijakan

Selain bongkar pasang sistem dan metode konversi suara, hal yang tak luput menjadi pembahasan strategis di dalam UU Pemilu No.7/2017 adalah regulasi tentang akses bagi perempuan di dalam keikutsertaanya turut merumuskan kebijakan publik. Permohonan uji materi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terkait UU Pemilu terhadap pasal 173 ayat (2) huruf e yang mengatur terkait 30 persen keterwakilan perempuan di dalam kepengurusan partai yang hanya berhenti pada tingkat pusat saja tanpa turut memperhatikan hingga ke tingkat kecamatan masih menemui kendala beberapa waktu yang lalu.

Mahkamah konstitusi berdalih bahwa kebijkan afirmasi sudah terdapat di dalam UU pemilu Pasal 28 H ayat (2) huruf UUD 1945 berbunyi, ”Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Dengan demikian, apabila UU Pemilu memuat ketentuan keterwakilan perempuan di kepengurusan partai hingga sampai tingkat kecamatan, justru akan menyebabkan ketidaksesuaian antara UU pemilu dan UU Partai Politik, dengan kata lain partai politik belum sanggup memenuhi syarat kuota 30 persen sampai pada tingkat kecamatan. Konsekuensi logis jika kebijakan afirmasi dipaksakan dapat berpotensi mengurangi jumlah partai yang turut serta dalam pemilu dan kualitas demokrasi. (RumahPemilu.org)

Melihat dalih penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap kebijakan afirmasi ini membuktikan bahwa kesadaran pemerintah di dalam mendukung terlaksananya pengarusutamaan gender di dalam tata kelola kebijakan masih rendah. Jika hanya berharap pada UU Pemilu pasal 173 ayat (2) terkait penerapan kebijakan afirmatif kemungkinan yang terjadi adalah pada pilkada serentak tahun 2018 perempuan belum mampu memaksimalkan calonnya secara kualitas maupun kuantitas untuk maju di dalam bursa pemilihan karena regulasi yang mengikat belum begitu kuat.

Kebijakan afirmasi perlu disisipkan kembali di dalam UU Pemilu maupun UU Partai Politik sejatinya untuk menjamin terlaksananya kebijakana afirmasi ini, bukan justru sebaliknya dipandang sebagai pengancam kualitas demokrasi. Bukankah demokrasi seharusnya menjadikan ruang bagi siapapun untuk turut serta di dalam pengambilan keputusan?

Pilwali Makassar dan Pendidikan Politik Perempuan di Daerah

Terlepas berangkat dari latar belakang partai yang sama, pilwali Makassar memberikan angin segar terhadap kaum perempuan dengan komposisi calon yang maju dalam bursa pemilihan. Sama-sama berlatar belakang politisi, Cicu dan Indira, setidaknya cukup memberikan bukti bahwa pendidikan politik perempuan di daerah mulai berkembang perlahan namun pasti.

Menyuarakan kembali isu-isu perempuan di dalam kampanye mungkin bukan menjadi strategi yang terlalu jitu untuk mendulang suara, karena komposisi kedua pasangan calon sama-sama mengusung perempuan di dalamnya. Namun satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa kehadiran perempuan turut di perhitungkan dalam pengelolaan kebijakan di daerah yang tendensi budaya patriarkinya lebih besar.

Membaca Pilwali Makassar yang penuh kejutan tahun ini dari kacamata perempuan, tentu sampai pada tersedianya pasangan bakal calon, kita sudah berhasil satu langkah untuk membangun kesadaran dan kemauan perempuan untuk duduk di dalam membicarakan hak-haknya. Terlepas dari siapapun perempuan yang kemudian maju di dalam memimpin kota ini, sinergitas di dalam menyuarakan perda-perda terkait perempuan yang masih “mangkrak” karena tidak adanya perwali yang kunjung rampung perlu menjadi catatan utama.

Sekali lagi kita perlu merasa aman dari pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, Pemberian air susu ibu (ASI) yang ekslusif, tersedianya tempat menyusui di tempat-tempat belanja, cuti selama masa haid, aman dari pelecehan atasan, kesetaraan di depan mata hukum. Jika bukan perempuan yang angkat bicara, siapa lagi ?

Semoga keterwakilan perempuan di pemerintahan dapat memberikan dampak positif bagi perempuan yang lain. Terlebih, terciptanya rasa aman dan nyaman bagi perempuan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari.

*Penulis adalah mahasiswa ilmu Politik Universitas Hasanuddin, aktif di Lingkar Mahasiswa Islam untuk Perubahan (LISAN) Cab Makassar berfokus pada isu-isu perempuan dan anak.

Ilustrasi Gambar, online24jam.com