*Oleh Adrian Al-Fatih
MAKASSARBICARA.ID – Seperti umumnya mahasiswa rantau, pulang menjadi tradisi wajib setiap memasuki awal bulan Ramadhan, kami menyebutnya ammuntuli bulang.
Memastikan santap sahur bersama di kampung halaman dengan orang-orang terkasih adalah kemewahan yang tidak boleh terlewatkan.
Sebagai mahasiswa dengan latar akademik pendidikan agama Islam, rasa-rasanya memikul beban moril tersendiri.
Terlebih bagi masyarakat kita, mahasiswa demikian ‘dianggap serba tahu’ perkara agama.
Disisi lain, kondisi seperti ini layaknya ujian terbuka dalam universitas, dimana si pemiliki gelar harus bertanggung jawab atas raihan gelar akademiknya.
Meskipun begitu, dalam beberapa hal saya sering disclaimer dan terbuka untuk sesuatu yang memang saya belum ketahui.
Saya cuma menjawab, Nda tau juga saya pak/bu, hahaha.
Menjelang waktu Isya di beranda masjid, saya dibisik sepupu yang kebetulan menjadi panitia Ramadhan. Ia meminta saya mengisi ceramah tarawih.
Saya pun tersenyum dan ketawa tipis-tipis, sambil berfikir bagaimana cara menolaknya.
Pada akhirnya saya pasrah, dan mengisi ceramah tarawih.
Melalui tulisan ini, saya menceritakan poin-poinnya.
Kondisi ini cukup traumatik bagi saya, lantaran pernah di interupsi jamaah yang justru merupakan ibu saya sendiri dan meminta saya berhenti berceramah.
“Sudami dulu nak, lain kalipi lagi..,”
Kurang lebih bahasanya begitu.
Sangat memorable hahaha.
*Membuka dengan Do’a Malaikat Jibril a.s
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah r.a, yang kurang lebih begini.
Pernah suatu waktu Malaikat Jibril datang menyampaikan tiga do’a dan langsung disambut oleh Rasulullah saw dengan Amiin…Amiin…Amiin.
Lalu para sahabat bertanya apa yang sedang diaminkan oleh Rasulullah.
Salah satu doa yang diaminkan itu adalah “Celakalah, celakalah umatmu Muhammad yang berkempatan bertemu dengan bulan Ramadhan tapi dia sama sekali tidak mendapatkan ampunan dari Allah Swt.”
Dalam Riwayat Muslim, Rasulullah saw bersabda “Barangsiapa yang bertemu bulan Ramadhan kemudian berlalu begitu saja dan dia tidak mendapat ampunan dari Allah Swt. Maka celaka dia, celakalah dia!”
Ramadhan adalah lautan maghfirah (ampunan) yang sungguh merupakan kerugian amat besar ketika tidak memaksimalkan.
Tempaan Ramadhan harusnya menjadikan kita pribadi yang semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt (taqarrub ilallah) dengan amalan-amalan yang memperkokoh fitrah kita sebagai hamba abdillah (QS.51:56).
Ketika Ramadhan dalam makna etimologisnya adalah membakar (ramida, ar-ramad), sedang perintah puasa sebagai ibadah istimewa, maka makna etimologi puasa adalah menahan (shiyam, shaum).
Dengan begitu, kita mesti menjadikan Ramadhan madrasah ruhani sebagai sarana dalam mendidik diri mengeliminir dan menundukan syahwat biologis kita (basyariyah), menuju fitrah kemanusian yang otentik (insaniyah-taqwa).
Semangat amaliyah Ramadhan adalah fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) yakni mengoptimalkan kebajikan-kebajikan (‘amalun shalihah) dengan kualitas yang ahsanu ‘amala.
Kiranya yang ingin kita capai bukan sebatas kenikmatan spiritual individualistik semata, tetapi spiritualitas yang mengkristal menjadi kebermanfaatan yang berorientasi kepada kemaslahatan sosial.
Boleh jadi kata ‘celaka’ yang dimaksud Jibril a.s adalah mereka yang hanya tenggelam dalam ritus personal tetapi abai menangkap nilai pembebasan Ramadhan.
*Dari Ibadah Ritual ke Ibadah Sosial
Kita mengimani bahwa setiap syariat yang diperintahkan, utamanya yang pokok dalam agama, tidak hanya berdiri sebagai sesuatu yang vertical-ilahiyah atau semerta bentuk hubungan kepada Tuhan semata (habluminallah).
Namun secara bersamaan, wujud relasi ilahiyah itu mengandung nilai yang seimbang (balance) dengan hubungan horizontal kita kepada sesama makhluk (habluminannas, hablum minal ‘alamin).
Perintah puasa misalnya, secara umum adalah aktivitas menahan diri dari perbuatan syahwat perut dan kemaluan, serta hal-hal yang membatalkan sesuai syariat sampai waktu yang telah ditentukan (QS.02:187).
Sesungguhnya, dalam hal ini kita diminta untuk membaca perintah puasa melampaui teksnya (bayani).
Berpuasa diharapkan melatih sensitivitas sosial kita kepada yang berkekurangan.
Puasa adalah ritus yang mengarahkan keberpihakan kita secara moril kepada yang membutuhkan (dhuafa).
Kita juga melihat bahwa orang-orang yang dalam kondisi tertentu memenuhi persyaratan tidak berpuasa (sakit, uzur dan lainnya), dibebani dispensasi dan punishment seperti sanksi-sanksi yang juga punya kebermanfaatan sosial secara langsung, misalnya membayar fidyah ke orang miskin atau memberi makan orang lapar.
Ini yang dimaksud Ali Syariati dalam bukunya Islam dan Sosialisme.
Ali Syariati memandang bagaimana kita belajar menjadi orang miskin, belajar kelaparan, belajar setara, dan belajar merasakan kondisi yang tak berkepunyaan.
Seperti halnya puasa, ibadah primer yang lain juga mengandung dimensi sosial (habluminannas) yang tak kalah kuat.
Ketika Allah Swt memerintahkan salat maka sesungguhnya itu adalah tameng agar terhindar dari hal-hal yang merusak diri (tanha ‘anil-fahsyai wal-munkar) dan dari segala bentuk penyebab patologi sosial lainnya (QS.29:45).
Zakat pun demikian dimana pemerataan dan distribusi keadilan yang Islam tawarkan mampu menjawab ketimpangan sosial ekonomi.
Untuk itu, pengamalan nilai-nilai ‘ubudiyah harus mulai dinaik kelaskan dari sifat ritus formil menjadi praksis sosial, sehingga menghasilkan kehidupan yang saling mengasihi, menebar kedamaian, kebermanfaatan, serta tidak memberi ruang sedikitpun kepada apapun yang merusak keharmonisan sosial.
Dengan ini derajat kehambaan kita dipacu untuk selalu bergerak maju menuju kesempurnaan kemanusiaan (insan kamil) dan supaya terhindar dari segala bentuk kerendahan dan kehinaan kehidupan (asfala safilin).
Pada akhirnya, Khairunnas anfauhum linnas, sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat kepada yang lain (HR.Ahmad).
*Merebut Mahkota Taqwa
Seringkali kita mendengar pengandaian Ramadhan sebagai bulan kompetisi untuk mengejar predikat taqwa.
Lewat mimbar-mimbar masjid, penceramah memprovokasi kebaikan agar hasrat beramal semakin baik guna mendapatkan predikat muttaqin (QS.02:183).
Dalam banyak hal, Ramadhan memang kadang menyuguhkan fenomena kekagetan spiritual.
Tentu saja ini hal yang positif tetapi problem selanjutnya adalah terkadang kita menyisakan durabilitas spiritual yang lemah.
Boleh jadi penyebabnya ada pada kualitas pengayaan amaliyah seorang hamba yang masih rendah, sehingga nafas konsistensi pengamalan Ramadhannya tidak berkelanjutan (sustainable).
Quraish shihab menerjemahkan taqwa sebagai upaya menjaga diri dari segala yang membahayakan (bentuk Masdar dari ittaqa-yattaqi).
Beliau melanjutkan bahwa taqwa mengandung pengertian menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala yang dilarang Allah Swt.
Taqwa dalam analogi Al-Qur’an disebut sebagai pakaian (libasut-taqwa), QS.07:26.
Sementara dalam salah satu kajian, Sukidi (intelektual muda Muhammadiyah) menyebut taqwa sebagai upaya pendayagunaan akal secara optimal.
Ramadhan adalah momentum yang paling tepat merajut kembali fitrah taqwa dalam diri melalui amaliyah-amaliyah (‘amalun shalihah) dengan kualitas paling terbaik (ahsanu ‘amala) dari yang kita miliki sebagai upaya totalitas (kaffah) dalam mengaktualkan kehambaan kita kepada Allah Swt.
Arkian, nilai Ramadhan menjadi pakaian ketaqwaan yang memproteksi kita dari apapun yang menjerumuskan manusia keluar dari fitrah penciptaan sebagai khalifatullah (QS.02:30) dan Abdullah (QS.51:56).
Sesungguhnya mental ibadah dari madrasah ruhani bernama Ramadhan ini, tidak hanya berakhir dalam hitungan hari saja, namun memiliki kontinuitas (istiqamah), sehingga menjadi sebuah habitus.
Kita sama-sama mengharap Ridha-Nya untuk menjadi bagian dari hamba-Nya yang muttaqien. Amiin…
Penulis merupakan Kader IMM