Memurnikan Integritas Merah Maroon: Anggun dalam Moral, Unggul dalam Intelektual


Penulis.

*Oleh Cindy Nur Atika

MAKASSARBICARA.ID – Baru-baru ini hangat perbincangan sebagian orang di kalangan pegiat intelektual merah maroon. Bahasannya soal kritikan yang ditujukan pada pemangku amanah tingkat kota Makassar.

Sebenarnya kritikan itu sangatlah baik sebab cerminan dari akal yang kritis. Namun dalam mengkritik menurut penulis perlu memilah diksi yang tepat, sebab pembaca itu berasal dari berbagai background ataupun latar sudut pandang yang berbeda.

Boleh jadi kritikan itu niatnya baik, namun salah memilih diksi bisa melahirkan stigma negatif terhadap penulis dari narasi yang dianggap kontroversi tersebut. Dalam hal ini, intelektualitas harusnya sejalan dengan moralitas.

Tindakan tidak bermoral membuat seseorang dijustifikasi hanya di satu sudut pandang. Indikator predikat sholeh atau bermoral tidak hanya diukur dari panjang pendeknya ukuran jilbab, tapi ada banyak indikator lain.

Kader yang didapati melenceng dari pengamalan slogan seharusnya segera mengintrospeksi diri.

Alih-alih introspeksi diri saat kepergok berduaan, sang kader malah melanjutkan perbuatan yang melanggar moral dan jauh dari nilai spiritual.

Aktor intelektual atau mahasiswa yang punya peran moral force diharapkan bisa mencerminkan moral baik karena telah menempuh pendidikan yang cukup lama. Sebagaimana sebutan yang selalu disematkan, ‘kaum terdidik’.

Moralitas berkaitan soal sopan santun sedangkan intelektualitas menyoal kecerdasan dalam berpikir atau proses pemikiran yang lebih tinggi. Lalu bagaimana dengan intelektual kita saat ini, apakah masih mencerminan nilai-niai moral?

Moralitas dan Intelektualitas adalah suatu keniscayaan yang bisa dilakukan beriringan. Jika kader sudah tuntas menyoal moralitas dan intelektual, maka seharusnya dia tak mudah menilai orang sesuka hati dan seenaknya.

Kesholehan sosial seharusnya menjadi ciri kita, dan predikat shalih didapatkan ketika memposisikan diri menjadi penolong orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan. Tidak akan disebut sebagai orang beriman kalau kita menolongnya dengan kritikan yang diksinya ‘tak bermoral’.

Selanjutnya, kita juga tidak akan mencapai predikat beriman (tu’minuna billah) ketika tak mampu menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar (Al-Imran; 110).

Ironisnya saat di satu sisi gemar berdakwah “dik, jangan menggibah yah,” di sisi lain juga gemar mencaci dan bergosip tentang kejelekan orang lain yang berpacaran.

Ini bagaikan semut yang tajam terlihat di rumah orang lain, ketimbang gajah di rumah sendiri yang buram terlihat. Kata Allah “kaburomakta ‘indallah”, perbuatan demikian sangat dibenci. Mengajak adik-adiknya jangan menggibah, berdasar Q.S 49;12, karena seumpama memakan bangkai saudara sendiri, malah dia yang menikmatinya seorang diri.

Anggun dalam moral unggul dan intelektual itu harus sejalan dengan jati diri seorang kader, bukan hanya salah satunya. Misal fasih soal-soal moral namun abai dengan kualitas intelektual pada diri sendiri. Begitupun sebaliknya, jangan hanya cerdas di rana intelektual namun nihil moralitas.

Terakhir pesan penulis, anggun dalam moral itu seperti ibadah dan akhlak, dua sisi yang tak pernah bertolak. Jika ibadahmu baik maka akan melahirkan akhlak mahmudah.

Jika moralmu baik maka akan melahirkan pemikiran cemerlang yang bisa menuntun ke pribadi yang lebih bermoral. Begitu pun sebaliknya, jika Intelektualmu baik maka akan menghadirkan moralitas berbuah citra positif pada akal yang cemerlang.

“Anggun dalam moral, unggul dalam intelektual”.

Kami yakin Allah membersamai kami di jalan dakwah ini. Meningkatkan kuantitas dan kualitas kebaikan adalah jalan menuju kedekatan pada Tuhan secara cepat.

Penulis merupakan Alumni Training of Immuballig PC IMM Kota Makassar.