Oleh: Ian Hidayat
Suatu waktu di Auditorium UIN Alauddin, hadir Diskrimsus Polrestabes Makassar menjadi narasumber Seminar Mahasiswa.
Salah seorang mahsiswa bertanya “bagaimana ilmu filsafat digunakan dalam sebuah kasus pidana?”. Dengan entengnya Narasumber menjawab “ilmu filsafat nda dipake, kasus pidana adalah murni hukum positif yang digunakan.”
Saya dan beberapa kawan yang duduk di belakang merasa tercengan dengan jawaban itu. Kami pikir, kata kata seperti itu tidak pantas diperdengarkan di ruang akademik apalagi oleh seorang petinggi kepolisian.
Kami berniat mengintervensi dan mengacungkan tangan, tapi kondisi dan waktu senggang betul betul tak memungkinkan. Kawan moderator sudah memberi kode untuk tidak lagi memperpanjng waktu.
Selepas acara, kami sebenarnya ingin sedikit berdiskusi dengan-Nya. Namun, waktu itu ia mengaku terburu-buru, ada hal lain yang harus ia bereskan.
Kami hanya berjabat tangan lalu ngobrol sejenak. Lalu saya mengajukan pertanyaan.
Cara ia menjawab mengungkap alasan perspektifnya itu. Saya lalu mempertanyakan gelarnya ia peroleh di kampus apa.
‘Dari Kampus ini dinda’, jawabnya sembari berjalan menuju lift.
Kampus yang dia maksud adalah salah satu kampus swasta di Sulsel. Sepengetahuan penulis, di kampus itu memang menjadi wadah bagi segelintir orang memperoleh gelar tanpa proses belajar yang matang.
Penulis ingin membantah kalimat narasumber tadi, perihal ‘ilmu filsafat nda dipake pada institusi Kepolisian.
Filsafat merupakan ibu ilmu, salah satu cabangnya adalah Logika. Dalam metodologi penyidikan maupun penyelidikan, menggunakan logika dasar sangat penting untuk menelaah suatu peristiwa. Logika tersebut akan mengarahkan kesimpulan yang objektif. Sehingga mampu memperoleh hasil yang berkeadilan.
Dari narasi tersebut kita bisa melihat alasan hukum dan penegakan hukum di negeri ini betul betul amburadul. Pendekatan yang digunakan jauh dari metodologi ilmiah dan terkesan sangat semena-mena.
Celakanya, kultur jauh dari ilmiah memang sudah tumbuh subur sejak masa wajib pendidikan kita (dari SD sampai SMA). Pun masa kuliah, kultur itu sedikit banyaknya masih berkembang amat subur.
Beberapa hari yang lalu, agenda pemeriksaan keterangan ahli dalam persidangan Hariz-Fatia telah dilaksanakan. Rocky Gerung, yang hadir sebagai saksi ahli sedikit banyaknya memperlihatkan kultur aneh itu.
Bagi penulis, Rocky Gerung adalah filsuf abad ini. Ia adalah salah satu contoh orang yang bebas dari kultur aneh hukum di negeri ini. Pemahaman tentang hermeneutik dan retorika yang baik adalah salah satu cara melepaskan diri dari kultur aneh itu.
Jaksa yang tidak meyakini subjektifitas keterangan Rocky Gerung sebenarnya hal yang bisa kita sepakati bersama. Pun, Rocky sebenarnya mengamini itu walaupun dengan bahasanya yang terlalu rumit untuk bilang ‘iya’.
Tapi kita bisa amini sikap Rokcy. Disidangkannya Hariz-Fatia adalah cerminan hukum negeri rimba, betul-betul jauh dari nilai ilmiah. Bagaimana tidak? Kajian ilmiah yang mereka buat secara ilmiah dan melalui data yang terverifikasi dibungkam melalui kekuasaan para birokrat. Mereka bahkan bisa merampok namun sah di mata negara.
Rocky, Hariz, Fatia, dan lainnya adalah orang yang melepaskan diri dari kultur aneh di negeri ini. Mereka mampu menghadirkan kesadaran kesadaran kritis, yang menurut Paulo Freire sebagi dasar mencapai kemanusiaan.
Mereka mampu menghadirkan kesadaran kesadaran kritis, di tengah carut marutnya negeri kita yang dibangun oleh kesadaran kesadaran mistis, amat jauh dari nilai kemanusiaan.
Kita juga perlu menyadari nilai kemanusiaan sudah menjadi nilai dasar dalam pembentukan ‘Negara’ ini, dan pembentukan hukum ‘Negara’, melalui sila-sila dalam ‘Pancasila’.
Cilakanya, kultur aneh di negara kita hanya menafsirkan Pancasila dari segi moral. Itupun lahir dari ‘Kebenaran Wibawa’.
Kita biasa menggunakan ‘Kebenaran Wibawa’ sebagai suatu kebenaran yang lahir dari ke-wibawa-an ; raja, pejabat, ahli agama, dan lain sebagainya yang dianggap memiliki wibawa dalam konstruk masyarakat tertentu.
Mereka kemudian menggunakan kebenaran itu untuk menguasai orang orang yang menikmati kewibawaan tersebut. Mereka akan dengan senang hati merampas tanah dan membunuh mereka yang melawan.
Kita bisa pahami kenapa hukum di negeri ini jauh dari keadilan bahkan kemanusiaan. Hal itu dipertontonkan secara kasat mata dari rentetan peristiwa-peristiwa yang terjadi kini.
Kita seharusnya menyebarkan kesadaran-kesadaran kritis dan menghilangkan kultur aneh. Bukan untuk menjadi nabi yang memiliki misi mengajak. Tapi hanya sekedar agar esok hari kita tidak ditangkap karena menyampaikan kebenaran.
Penulis adalah Asisten Magang di LBH Makassar