Mendamba Wali Kota Peduli Literasi


Oleh Zulfikar Hafid*

Haruki Murakami dalam novelnya yang berjudul “Kafka On The Shore” mengisahkan seorang remaja yang melarikan diri dari rumahnya dengan nama samaran Kafka Takamura. Hal keren dari kisah itu, menurut saya, bukanlah Kafka yang sudah serius minggat dari rumah di usianya yang baru 15 tahun. Hal kerennya adalah Kafka kabur dari rumah dan memilih mengasingkan diri di perpustakaan-perpustakaan kecil di wilayah pinggiran atau terpencil Jepang, latar tempat kisah tersebut. Lari dan menghabiskan waktunya di perpustakaan.

Hal yang saya garis bawahi dari kisah keren tersebut adalah ternyata di Jepang, setiap daerah, termasuk daerah pinggiran yang terpencil, ada perpustakaan. Murakami mengisahkan, sebelum Kafka memutuskan untuk tinggal lama di perpustakaan daerah Nakano, ia mengunjungi beberapa perpustakaan lainnya yang juga terletak di desa terpencil.  Hal yang tidak kalah keren, perpusatakaan tersebut diurus dengan baik dengan koleksi buku yang juga tergolong baik. Tapi, apa itu hanya rekaan fiksi Murakami? Nyatanya tidak!

Berdasar laporan seorang dosen, Masunardi dalam tulisannya di laman Kompasiana, di Utsunomiya-shi, sebuah kota-kabupaten di Tochigi, terdapat lima perpustakaan daerah yang letaknya di beberapa kecamatan yang berbeda. Bahkan, katanya, perpustakaan tersebut juga sudah terintegrasi secara daring (online). Keren! Perpustakaan tersebut secara sistem dan administrasi juga terpadu dengan kantor pemerintahan Utsunomiya-shi. Patut membuat iri!

Baiklah, kita hanya bisa menelan ludah atas kenyataan bahwa negeri dan kota Makassar yang berdengung sebagai kota dunia ini tidak semaju Jepang. Akan tetapi, jika kita terus hanya menelan ludah tanpa berikhtiar keras untuk mengubah keadaan ini, sampai kapan kita terus tertinggal? Padahal, ini teramat penting. Jauh lebih penting daripada berapa banyak lampu hias warna-warni yang terpasang di sepanjang jalan kota.

Mirisnya, ketika kita meninjau perpustakaan kota yang dikelola oleh Pemerintah Kota Makassar, tidak ubahnya sebuah museum. Ya, perpustakaan rasa museum! Ini karena buku-bukunya yang tua. Ini tidak berarti menafikkan buku tua sebagai sumber ilmu pengetahuan, akan tetapi sebagai manusia biasa yang normal, tentu mendamba hal baru. Terlebih dalam hal buku, manusia biasa yang menyadari pentingnya mengakses buku, tentu menginginkan informasi baru dan karya terbaru.  Sementara, di Perpustakaan Kota Makassar, koleksi buku baru dan yang terbaru, bukannya tidak ada,  minim sekali jumlahnya.

Keberadaan perpustakaan kota ini harus menjadi salah satu perhatian utama Pemerintah Kota Makassar. Sungguh, yang dimaksud di sini, tidak sekadar eksistensi bangunan fisik. Ini bukan perihal sekadar bangunan (dengan desain) baru, melainkan juga kualtas perpustakaan tersebut dari segi koleksi buku. Karena itu, program terkait vitalisasi perpustakaan ini niscaya.

Program Pemerintah Kota Makassar kepemimpinan Wali Kota Makassar Danny Pomanto yang membangun perpustakaan-kafe di setiap sekolah (saat ini sedang berjalan) sudah bagus. Demikian pula dengan pelaksanaan Makassar Literasi Award yang dilaksanakan pada tahun 2017 lalu, yang merangsang tumbuhnya daya literasi di Kota Makassar.  Hanya saja, dengan fakta perpustakaan kota tersebut, keberadaan perpustakaan ini juga urgen sebagai dasar literasi.

Demi pembangunan peradaban maju dan sumber daya manusia unggul di Kota Makassar, perpustakaan seharusnya menjadi  mutlak. Ini tugas mahapenting bagi kepemimpinan Wali Kota Makassar selanjutnya. Jika di program atau visi-misi para kandidat wali kota belum mencantumkan program literasi ini, kiranya belum terlambat untuk memprogramkannya. Ini, salah satunya, karena perpustakaan kota sebenarnya merupakan cerminan habitus literasi masyarakatnya. Sementara, peradaban yang daya literasinya rendah bukanlah peradaban yang berkualitas.

Untuk pengadaan perpustakaan berkualitas, sekali lagi berkualitas bukan alakadarnya dan seadanaya, di setiap kecamatan se-Kota Makassar, bukanlah hal yang muluk-muluk dan mustahil. Untuk pengelolaan, komunitas yang ebanr-benar peduli literasi yang saat ini marak, bisa dijadikan mitra. Bukankah sinergitas seperti ini juga mutlak bagi seorang pemimpin dan masyarakatnya, bukan hubungan bos-bawahan? Maka, sejkali lagi, poin pentingnya adalah Pemerintah Kota Makassar harus meningkat kualitas (vitalisasi) Perpustakaan Kota Makassar, membangun perpustakaan di setiap kecamatan dan menyinergikan pengelolaannya dengan komunitas literasi.  Kami mendamba wali kota yang peduli literasi!