*Oleh Rino Sengu
MAKASSARBICARA.ID – Dua tahun lagi, kita akan menggelar pesta Demokrasi. Pemilu 2024 ini boleh dibilang menjadi salah satu Pemilihan Umum yang spektakuler.
Pemilu kali digelar serentak sekaligus yang paling rentan. Selain di perhadapkan dengan berbagai macam wacana-wacana baru, polemik internal antar partai politik, yang paling klasik dan sangat serius adalah persoalan politik “identitas”.
Politik ‘identitas’ nyaris selalu mendapat tempat dalam proses pesta demokrasi kita. Ia selalu menjadi isu utama dalam diskursus demokrasi dan politik mulai dari tingkat desa hingga pusat.
Salah satu kenyataan yang paling menonjol dan tak dapat disangkal dari gerakan politik ‘Identitas’ ini terjadi pada Pilgub DKI Jakarta tahun 2017, lalu dilanjutkan dengan PILPRES tahun 2019, yang kemudian menjelma menjadi semacam New Social Movement.
Alih-alih menjadikan ‘identitas’ sebagai suatu terminologi yang mesti dinegosiasikan, didiskusikan, ‘identitas’ justru diredusir serta didramatisir menjadi gerakan politik.
Politik ‘Identitas’ menjadi batu loncatan untuk meraih kekuasaan. Berkaca dari persoalan semacam itu, gerakan politik berbasis pada ‘identitas’ sebetulnya menegaskan dua faktor penting yang berkaitan secara langsung.
Pertama, keringnya diskursus seputaran Pluralisme dan Multikulturalisme
Kenyataan bahwa diskursus tentang pluralisme dalam bingkai etika politik dan demokrasi mendapat sorotan tajam seiring dengan menguatnya kesadaran tentang politik identitas dan politik diferensiasi.
Politik identitas secara luas adalah politik afirmasi ke dalam, lahir dari semangat individu kelompok sosial, agama atau komunitas tertentu. Ia bertujuan untuk menegaskan eksistensi dan otonomi diri dalam wujud agama, etnis, kultur dan gerakan sosial tertentu.
Kenyataan bahwa Indonesia sebagai negara yang bertaburan etnik, agama, bahasa, dan budaya, memiliki tantangannya tersendiri.
Yang paling utama adalah bagaimana meramu segala entitas perbedaan itu menjadi suatu tatanan masyarakat yang demokratis.
Dengan menjadi politisi berarti menyadari bahwa panggilan politik adalah menata kehidupan bersama dan berjuang meramu segala perbedaan menjadi suatu tatanan masyarakat yang baik. Kita semua mesti menyadari bahwa tantangan ini bukan semata-mata tugas yang harus dipikul politisi.
Kurangnya kesadaran diskursus seputaran Pluralisme dan Multikulturalisme di antara para politisi hingga sesama kita sebagai warga negara, berakibat pada politik “pemilu” tidak pernah menjadi momen konsolidasi yang bisa mendamaikan keberagaman identitas.
Dengan kata lain, selama empat tahun terakhir, kita tidak memiliki karakter politisi yang menempatkan politik sebagai seni mengolah serpihan perbedaan menjadi satu mosaik negara yang indah.
Kampanye sebagai salah satu instrumen dari demokrasi ‘gagal’ ditransformasi sebagai ruang sekaligus tempat yang memiliki fungsi menumbuhkan ide, meleburkan pikiran. Ia dialih fungsikan menjadi tempat membujuk, menghasut yang berbasis pada sentimen-kebencian keagamaan, Ras dan Suku tertentu.
Kedua, perihal sejarah. Kenyataan bahwa gerakan politik yang berbasis pada “identitas” hari ini mesti dibaca sebagai kontinuitas dari pemilu tahun 1955 yang dicirikan dengan sebagian besar partai politik, yang merepresentasikan ciri identitas atau golongan tertentu. Fakta sejarah semacam ini yang kemudian mengalami diskontinyu pada masa kekuasaan orde baru.
Felix Bagi dalam Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi, menegaskan “masa pemerintahan Orde Baru dengan sistem kontrol politik yang ketat, telah mengabaikan kebebasan individu dan kelompok sosial untuk mengungkapkan diri secara penuh”.
Di samping itu, rezim otoriter Orde Baru yang represif tidak menghiraukan hak-hak kelompok minoritas atau kelompok-kelompok sosial untuk diakui menurut keadaan dan situasi mereka.
Mengurai kembali sejarah filsafat politik, perjuangan demokrasi berawal dari pembentukan demos; dan dalam konteks Indonesia yang beragam etnis, agama, bahasa, budaya, nilai dan identitas perjuangan demokrasi tampak dalam pergeseran dari ethnos-pembatasan bangsa berdasarkan kultural menuju demos pengertian bangsa sebagai unit politik
*Hak untuk Berbeda dan Kewajiban untuk Berintegrasi
Dalam pluralisme dan demokrasi hak untuk berbeda tidak bisa diganggu.
Semua orang, siapapun dia dan dari manapun asalnya, memiliki hak untuk berbeda sebagai hak dasar. Ini adalah bagian dari hak asasi.
Dalam teori Multikulturalisme, hak untuk berbeda sering dikategorikan sebagai bagian dari diversitas kultural. Seorang anggota dewan bangsawan Britania Raya, Bhikhu Parekh mengategorikan diversitas kultural dalam tiga aspek.
Pertama, hak untuk berbeda dalam konteks diversitas subkultural. Hak ini merujuk pada sekelompok masyarakat dari budaya yang sama, tetapi dalam kehidupan sehari-hari menghidupkan corak dan cara hidup yang berbeda.
Kedua, hak untuk berbeda dalam terang diversitas perspektival. Hak ini merujuk pada sekelompok orang yang memiliki sikap kritis terhadap segala prinsip atau nilai dari suatu kebudayaan serta berusaha untuk memperlihatkan misi transformatif di dalam sikap kritis itu.
Ketiga, hak untuk berbeda dalam pengertian diversitas komunal. Hak ini merujuk pada kelompok-kelompok komunitas yang hidupnya sudah mapan, terorganisir dan hidup sesuai keyakinan dan kepercayaan mereka yang sudah fixed.
Dalam konteks hak untuk berbeda dan kewajiban untuk berintegrasi, kita tidak mengharapkan radikalitas atau sikap yang ekstrem.
Hak untuk berbeda tidak perlu menjadi ekstrem dalam model dan bentuk apapun. Sebaliknya, kewajiban untuk berintegrasi tidak perlu jatuh ke dalam homogenisasi yang menghilangkan identitas dan diferensiasi masing-masing kelompok.
Hak untuk berbeda tidak boleh mengingkari kewajiban untuk berintegrasi. Demikian pula, kewajiban untuk berintegrasi hendaknya tidak menghapus hak-hak asasi untuk berbeda.
Dalam suatu masyarakat yang tertata dengan baik, orang hidup tidak hanya berdasarkan tuntutan haknya, orang juga harus hidup sesuai dengan kewajibannya.
Persis di sini, kita membutuhkan nilai dan tuntutan keadilan dalam terang politik diferensiasi. Politik diferensiasi bersentuhan dengan relasi-relasi yang melampaui waktu dan jarak. Relasi-relasi ini juga melampaui perbedaan, keterasingan, keberlainan, bersentuhan dengan yang minoritas, yang marginal, yang bukan kita, dan bukan kami.
Kompleksitas macam ini menuntut kita untuk menghadirkan satu model komunitas politik. Prisma Young menyodorkan satu model komunitas politik ini. Komunitas politik yang berbasis pada demokrasi komunikatif.
Bagi Young, demokrasi komunikatif adalah demokrasi yang dialogal karena ia lebih menyentuh misi politik untuk mengatasi persoalan-persoalan kolektif. Demokrasi komunikatif lebih terbuka terhadap komunikasi dari perspektif diversitas kultural, ia bersentuhan dengan sapaan dalam ruang hidup bersama, kesanggupan berkomunikasi yang selalu tersituasi.
*Dua Tesis Menegosiasi Identitas
Kajian politik dan demokrasi dalam konteks Indonesia belum memfokuskan perhatiannya secara serius pada unsur-unsur ethnos untuk membangun demos.
Oleh sebab itu sebagai suatu gerakan politik modern, politik identitas yang memiliki tujuan memperjuangkan hak-hak minoritas senantiasa menjadi gerakan politik yang mewarnai konsolidasi politik dan demokrasi.
Sejauh kita masih tidak memiliki format yang tepat untuk membangun, menegosiasi dan secara kreatif menyeleksi para politisi yang memiliki kehendak baik untuk menata kehidupan bersama.
Orang mulai menyadari pentingnya fakta pluralitas dan koeksistensi di tengah perbedaan. Kesadaran ini berangkat dari sejarah, ketik fakta pluralitas dan perbedaan dicurigai sebagai sumber konflik dan asal pertentangan antar sesama manusia.
Hal ini berkaitan erat dengan pasang naik tuntutan demokrasi yang semakin mengglobal dan gerakan roh liberalisme politik yang memperjuangkan keadilan universal.
Salah satu perkembangan yang mengemuka dewasa ini adalah dialektika antara identitas dan diferensiasi. Dialektika ini dianggap sebagai problem politik yang dihadapi oleh demokrasi. Dialektika ini telah menjadi semacam domain yang mewarnai dinamika politik global.
Pertanyaannya, apakah demokrasi dapat bertahan dalam model homogenisasi identitas dan abstraksi rasionalitas manakah yang dapat dijadikan kerangka berpikir menegosiasi ‘identitas’ dalam model demokrasi macam itu?
Menegosiasi ‘Identitas’ dalam Terang Nalar Publik
Nalar publik adalah konsepsi politik yang diajukan oleh Jhon Rawls sebagai suatu upaya menyikapi setiap konflik pluralisme irresolvable.
Nalar publik adalah bagian dari konsepsi politik yang hanya berlaku di dalam forum publik. Nalar publik bukan hasil konsepsi moral dalam ruang privat. Rawls berkeyakinan bahwa setiap manusia mempunyai energi atau sumber daya untuk mencapai konsensus di tengah perbedaan.
Energi itu berupa kemampuan untuk mengajukan kebenaran ajaran dan cara hidup lewat argumen-argumen yang reasonable. Tujuannya bukan sekadar untuk dimengerti atau dipahami, tetapi lebih dari itu, agar dapat diterima sekaligus rela menerima argumen yang lain juga.
Dalam konsepsi semacam ini, kita menjumpai diri kita sebagai yang lain. Begitupun sebaliknya, nalar publik mencirikan warga negara yang demokratis dengan memberi penekanan pada aspek keterbukaan dan memberikan akses masuk terhadap doktrin komprehensif melalui argumen politik. Nalar Publik hanya berlaku dalam forum politik publik dan bukan dalam budaya latar yang berbeda-beda.
Subjek utama dari Nalar Publik adalah kebaikan publik.
Isi dari nalar publik adalah keadilan sebagai konsepsi politik. Tujuan utama dari Nalar Publik adalah justifikasi politik yang dinalarkan kepada yang lain dalam kapasitas mereka sebagai warga negara demokratis yang waras.
Kedua, menegosiasi ‘identitas’ dalam terang Nalar Sivik.
Nalar Sivik merupakan suatu konsep yang diperkenalkan oleh pemikir Islam liberal, Abdullahi A. An’Naim.
Bagi An’Naim nalar sivik sebagai bahasa bersama yang dipakai dalam dialog berkenaan dengan nilai-nilai yang berbeda. Dari sini, yang menjadi penting dalam dialog adalah kesediaan untuk mengubah pandangan sendiri dan rela beralih karena berubah pandangan yang lain dalam terang konsensus. Semuanya demi kebijakan dan kebajikan publik.
Agama bisa terlibat dalam ruang politik publik asal dalam terang kewarganegaraan yang beragam, bukan dalam terang pemaksaan ajaran atau doktrin-doktrin dari agama.
An’Naim memberi batasan nalar sivik dalam tiga aspek berikut; pertama nalar sivik bersifat konstitusional, nalar sivik berhubungan dengan HAM, dan nalar sivik berkaitan dengan kewarganegaraan yang setara.
Dengan demikian nalar sivik berlaku hanya ketika semua orang tampil di ruang publik sebagai warga negara, bukan sebagai umat dari warga negara tertentu.
Tesis A. An’Naim bertujuan agar semua agama sebaiknya mampu menerjemahkan diri di dalam dunia sekuler dan beradaptasi dengan realitas negara modern. Agama tidak perlu digeser ke pinggir, atau tidak harus diprivatkan dalam ruang yang khusus. ……
Agama mesti terbuka dan memainkan peran sosialnya di dalam ruang publik.
Semua umat beragama sebaiknya memiliki kesanggupan untuk menerjemahkan pesan-pesan imannya secara baik sebagai warga negara di tengah ruang publik.
Dengan demikian nubuat “Kita berhak untuk berbeda tetapi, memiliki kewajiban untuk berintegrasi” memiliki tempat dalam tesis A. An’Naim.
Penulis merupakan Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas MegaRezky Makassar