Mengapa UKT Melonjak Tinggi?


Foto: Penulis. (Dok. Istimewa)

*Oleh Muh. Ikhwan Zafiq

MAKASSARBICARA.ID – Uang Kuliah Tunggal (UKT)  merupakan kebijakan biaya yang diterapkan oleh Kemendikbudristek di berbagai kampus Indonesia sesuai dengan kemampuan mahasiswa demi menunjang fasilitas pembelajaran. Harapannya, kebijakan UKT ini diterapkan untuk tidak membebani biaya kuliah seseorang.

Melonjaknya kenaikan UKT di berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) jadi sorotan masyarakat, terkhususnya mahasiswa. Kini di tengah gejolak tingginya UKT, bagaimana nasib mahasiswa?

Melejitnya biaya UKT di berbagai kampus negeri di Indonesia tak terlepas dari terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan BiayaOperasional Perguruan Tinggi (SSBOPT). Pasal 6 Ayat 2 mengatur soal standar tarif UKT kelompok 1 dan 2. Kelompok 1 dengan nominal Rp. 500.000 dan kelompok 2 sebesar Rp. 1.000.000. Selebihnya, besaran UKT ditentukan oleh masing-masing PTN. Hal ini bisa jadi celah bagi PTN untuk menaikkan UKT pada kelompok 3 dan seterusnya. Ayat 4, di Pasal yang sama, juga menjelaskan bahwa PTN dapat menetapkan tarif UKT, di luar kelompok 1 dan 2, paling tinggi sama dengan besaran Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang telah ditetapkan oleh program studi.

Keleluasaan PTN dalam menetapkan tarif ini berpotensi disalahgunakan dan jadi penyebab UKT melonjak.

Selain penetapan tarif UKT, Bab V membahas persoalan Iuran Pengembangan Institusi (IPI). Tepatnya di Pasal 22 Ayat 1, pemimpin PTN dapat mengenakan biaya bagi mahasiswa (IPI) selain dari UKT. Biaya UKT yang melonjak dan beban IPI akan menyulitkan akses pendidikan bagi orang yang kurang mampu. Maka teranglah praktik komersialisasi pendidikan lewat kombinasi UKT dan IPI.

Ini memperpanjang deretan keluhan dan beban masyarakat dalam mengakses pendidikan tinggi. Belum lagi soal kampus dengan status Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Di Permendikbudristek No. 2, kampus PTN-BH diberi keleluasaan lebih dalam menetapkan tarif UKT dan IPI dibanding status kampus lainnya. Tepatnya di Pasal 8 dan 24 yang menyebut kampus PTN-BH bisa menetapkan tarif setelah ‘berkonsultasi’ dengan Kementerian. Sedangkan kampus selain status PTN-BH penetapan tarifnya harus mendapat ‘persetujuan’ dari Kementerian.

Sebagai kesimpulan, lonjakan UKT di berbagai PTN di Indonesia bukan sebuah solusi dalam menyelesaikan problematika kampus. Akan tetapi, ini menjadi sebuah akar permasalahan yang dihadirkan oleh perguruan tinggi bagi mahasiswa yang tidak mampu membayar UKT per semesternya. Hal ini membuat banyak mahasiswa merasa terbebankan serta menjerit dalam melakukan pembayaran di PTN demi melanjutkan pendidikannya.

Penulis merupakan Menteri Riset dan Pengembangan BEM FIP UNM Periode 2023-2024.