Oleh : Ahmad Sangkala
“tekanan dan ancaman kepada Danny Pomanto
-Maqbul Halim-
adalah siklus musim dalam pilkada yang tidak teratur”
Kalimat diatas merupakan cuitan twitter Maqbul Halim tertanggal 15 Maret 2020. Kalimat ini tentu bermakna dalam, dalam cuitan ini pula template foto Danny Pomanto dengan tulisan “Tidak Takut” dan ditambahkan #terusbergerak. Tentu Maqbul Halim tak sembarang membuat ini, apalagi dirinya saat ini dikenal paling dekat dengan Danny Pomanto. Selain juru bicara, namanya juga sempat menjadi calon wakil Danny Pomanto saat mendaftar melalui jalur independen.
Cuitan ini tentu bukan tanpa alasan, semenjak Danny Pomanto mencukupkan kursi untuk bisa mendaftar di KPU, yakni mengantongi rekomendasi partai Nasdem dengan 7 kursi dan Golkar 5 kursi. Serangan pun mulai bermunculan. Dinamika penentuan wakil pun menjadi celah masuknya serangan awal tersebut. Saat Zunnun NH di tolak oleh Nasdem misalnya, muncul beberapa media yang berusaha memframing bahwa Danny Pomanto “tega” meninggalkan golkar. Padahal nyatanya, sejak Musyawarah rakyat, Danny Pomanto menegaskan untuk menyerahkan sepenuhnya penentuan wakil pada musyawarah partai politik yang mengusungnya. Komitmen ini sepertinya berusaha ingin dimanfaatkan kelompok tertentu untuk mengadu domba partai yang telah memberikan surat tugas untuk saling ngotot untuk mendorong kadernya sebagai pendamping Danny Pomanto.
Setelah opini yang terkesan mengadu domba partai pengusungnya sepertinya tak berhasil. Bahkan justru masih ada peluang beberapa partai yang bersedia mengusungnya. Maka muncullah serangan baru, seperti pola pada pilwalkot lalu. Dimana serangan berupa selebaran yang bersifat primordial kembali dimunculkan. Serangan negatif campaign ini kembali berusaha meyakinkan publik bahwa Danny Pomanto bukan asli Makassar. padahal nyatanya, setiap warga negara berhak untuk maju dimana pun. Isu seperti ini juga telah dilakukan pada pilwakot 2014 lalu saat Danny Pomanto akhirnya mampu memenangkan pilwalkot dan pada 2018 kembali mampu unggul di berbagai survei namun akhirnya digugurkan oleh KPU.
Serangan lainnya juga terkait beberapa program yang dianggap gagal saat menjabat walikota Makassar. bahkan beberapa kasus korupsi yang bergulir, berusaha dikait – kaitkan dengan Danny Pomanto. namun diantara semua pola ini, sepertinya ini tidak jauh berbeda yang dilakukannya pada 2018 lalu.
Seperti bunyi pepatah”tak ada orang yang mau jatuh di lubang yang sama”, tentu Danny Pomanto telah belajar dari kegagalan sebelumnya. Statusnya di 2018 dan sekarang pun berbeda. Danny Pomanto tak lagi sebagai petahana, tidak juga menempuh jalur independen. Tentunya ini menjadi modal tersendiri, Danny tak lagi punya aturan khusus seperti petahana lainnya dalam berkampanye, dengan dukungan dari Partai Nasdem dan golkar, tentunya dukungan kekuatan elit secara nasional juga semakin kuat. Walaupun demikian Danny Pomanto tetap tak boleh lengah.
Secara kalkulasi politik, serangan semacam ini dilakukan jika secara elektoral kandidat tersebut sulit untuk dikalahkan. Ini pertanda penantang Danny Pomanto sepertinya sedang frustasi untuk mengejar elektabilitas Danny Pomanto. secara strategi, Danny Pomanto menunjukkan kelasnya di Musyawarah rakyat, kendaraan partai sudah cukup, unggul jauh di berbagai lembaga survei. Sehingga hal yang wajar lawan harus punya cara radikal untuk menggagalkannya.
Tapi percayalah, warga kota Makassar dan elit partai politik tak ingin kejadian kelam 2018 lalu terulang. Karena jika demikan, tentu Makassar akan mundur lagi. Olehnya itu, jangan gentar, janga takut. Kita ingin Danny Pomanto kembali memimpin, guna mewujudkan Makassar dua kali tambah baik. Tungguma!