Oleh Akbar*
MAKASSARBICARA.ID-Kemacetan merupakan masalah klasik yang belum menemui solusi, termasuk pada kota besar seperti Makassar. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah misalnya menyediakan transportasi massal, namun juga belum banyak merubah apa-apa. Di Kota Makassar, dulu kemacetan hanya terjadi di jalan-jalan tertentu saja, kini telah merembek ke semua jalan. Dulu kemacetan terjadi di waktu tertentu, kini kemacetan tidak lagi mengenal waktu. Ini membuktikan bahwa masalah ini semakin akut. Berikut dua alasan kenapa Jalan Tol mestinya digratiskan.
Jalan Tol Sebagai Pengurai Kemacetan
Ternyata jalan-jalan Tol dibangun menggunakan dana pinjaman (utang), sehingga butuh uang juga untuk mengaksesnya. Sehingga peluang gratisnya jalan Tol mungkin akan dilakukan ketika utang sudah lunas. Inilah yang keliru dalam proses pembangunan infrastruktur kita. Pemerintah ingin terlihat maju seperti negara yang sedari dulu telah menjadi negara yang notabenenya telah mapan secara ekonomi. Pemerintah kita terlalu memaksakan diri untuk ‘terbang’ padahal belum cukup bulu disayapnya, sehingga memilih mengutang demi memajukan infrastruktur.
Yang disayangkan, pemerintah memilih langkah berutang tanpa memikirkan rakyat kecil yang dibebankan biaya pajak, sementara infrastruktur yang dibangun dengan utang itu tidak diperuntukkan untuk semua kelas sosial. Kondisi ini dapat kita nilai sebagai bentuk penindasan secara halus dan senyap yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat kecil.
Seperti yang dikatakan seorang filsuf asal Prancis, Louis Althusser bahwa masyarakat telah terjebak dalam Metafora Kaum Struktural yakni kita terjebak dalam suatu tatanan struktural yang didominasi oleh institusi. Semua yang diputuskan oleh institusi, tidak bisa kita hindari. Kita menilai kondisi tersebut sebagai sesuatu yang memang seharusnya ada, harus menerimanya dan tidak ada kemampuan untuk melakukan perlawanan. Dalam hal ini, kita menerima aturan Jalan Tol yang selama ini dijalankan pemerintah dan pihak terkait.
Pada literatur lainnya, kondisi masyarakat yang ‘tidak’ mempersoalkan Jalan Tol yang ‘berbayar’, bagi Gramci kita telah dimanipulasi oleh kekuasaan negara dengan mengamini Budaya Kewarganegaraan. Maksudnya adalah masyarakat percaya pada kebijakan pemerintah dan cenderung menerima definisi negara dari kekuasaan, tentang bagaimana menjadi ‘warga negara yang baik’.
Sehingga Jalan Tol yang dikomersialkan, kini diterima sebagai sesuatu yang natural dan wajar-wajar saja.
Diskriminasi Pengendara
Pembangunan pada hakikatnya hadir sebagai solusi atas suatu persoalan, bukan sekedar memenuhi kebutuhan manusia, apalagi memenuhi kebutuhan kelompok tertentu saja. Dalam buku Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan karya Koentjaraningrat disebutkan infrastruktur merupakan salah satu Kebudayaan Fisik. Kebudayaan fisik ini dinilai mampu membentuk lingkungan hidup tertentu yang semakin lama menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pola perbuatan dan cara berpikir manusia.
Salah satu jenis infrastruktur modern adalah pembangunan Jalan Tol. Dalam hal ini, Jalan Tol juga dapat membawa dampak buruk ke masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Saat ini panjang jalan Tol Kota Makassar secara keseluruhan yakni 21,85 km, termasuk jalan Tol Layang A.P Pettarani yang tidak lama ini diresmikan dengan nilai fantastis yakni 2,24 Trilliun.
Untuk mengakses Jalan Tol, pengendara dikenakan tarif tertentu. Hal ini kita ‘terima’ karena Jalan Tol memberikan keuntungan berupa jarak tempuh yang lebih efisien. Kondisi Kota Besar seperti Makassar, jalan Tol seharusnya tidak hanya hadir semata-mata sebagai fasilitas eksklusif. Fasilitas eksklusif yang dimaksud adalah Jalan Tol hanya bisa diakses oleh pengendara tertentu saja. Ini jelas adalah bentuk diskriminasi pengendara. Dengan anggaran fastatis, pembangunan Jalan Tol mestinya tidak hanya untuk pengendara berduit, tetapi juga dibebas-akseskan untuk semua pengendara.
Jalan Tol di Kota Makassar seperti Tol Sutami, Tol Reformasi hingga Tol Layang Pettarani, jangan hanya menjadi ‘icon’ kota seperti yang dibangga-banggakan oleh kalangan pejabat, tetapi juga Jalan Tol mampu menjembatangi masyarakat tanpa memandang kelas sosial.
Penulis beranggapan, ketika infrastruktur seperti Jalan Tol mestinya ramah terhadap semua pengendara, Jalan Tol seharusnya juga hadir sebagai solusi pengurai kemacetan. Menggratiskan jalan Tol merupakan salah satu solusi konkret jangka pendek-menengah, mengingat luas jalan kota Makassar tidak lagi mampu mengimbangi volume kendaraan yang tumbuh begitu pesat. Jalan Tol bisa menjadi solusi alternatif untuk menampung separuh volume kendaraan yang menumpuk di ruas jalan Kota.
Apalah gunanya Jalan Tol dibangun hanya untuk pengendara tertentu saja, apalah gunanya Jalan Tol dibangun tidak mampu menekan angka kemacetan kota.
Akbar. Mahasiswa Sosiologi UNM/Ketum HMI MPO Cabang Makassar 2021-2022