*Oleh Tasbih Ali
MAKASSARBICARA.ID – “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?,”
Begitulah Al-Ma’un memulai pembicaraan. Telah jamak diketahui bahwa sang Nabi telah lama wafat. Jadi ayat ini sebenarnya bertanya kepada kita, sebab di antara kitalah sesungguhnya para pendusta agama itu berseliweran.
Belum juga seseorang bangkit dari zona nyamannya sebagai Presiden, Gubernur, Bupati, Kepala Desa, Kepala Dusun, Ulama, Ustadz, Ustadzah, dan kepala-kepala yang lain, tiba-tiba Al-Ma’un menyatakan ‘Itulah orang yang menghardik anak yatim’.
Olehnya itu, apapun profesi seseorang, gelar seseorang, jabatan seseorang, jika di dalam hatinya ada hardikan, meskipun hanya sebiji zarrah terhadap anak yatim, dapat dipastikan bahwa ia pendusta agama.
Biasanya hardikan melahirkan keengganan untuk memberi, apalagi menolong. Kalaupun kelompok penghardik terpaksa bersedekah kepada orang miskin, maka yakinlah hanya karena ingin dipuji, riya’ belaka.
Bagian ‘Tidak mendorong memberi makan orang miskin’, Al-Ma’un menambahkan kriteria seorang pendusta.
Maka seorang Ulama yang tidak memberi makan orang miskin, ia pendusta. Seorang Ustadz yang tidak memberi makan orang miskin, ia pendusta. Seorang Ustadzah yang tidak memberi makan orang miskin, ia pendusta. Apatah Lagi jika dia seorang pemimpin lalu tidak memihak kepada orang miskin, ia pendusta dan biadab.
‘Celakalah orang yang sholat’, Al-Ma’un mulai mengutuk orang-orang yang hanya mementingkan sholat berjamaah di Masjid, tetapi abai terhadap orang miskin yang mereka lalui menuju Masjid, juga terhadap anak yatim yang mereka lewati sepulang dari Masjid.
Bahkan celakalakalah dan terkutuklah mereka yang enggan memberi bantuan kepada pemuda yang menjomblo lantaran mahalnya uang panai’.
Berikutnya, ‘Orang-orang yang lalai terhadap sholatnya’, Al-Ma’un menambahkan kriteria orang-orang yang celaka. Sebenarnya sholat tidak hanya memuat dimensi vertikal, tetapi juga mengandung dimensi horizontal. Celakanya umat muslim hanya membangga-banggakan yang vertikal, sedangkan yang horizontal dilalaikan dan terabaikan.
Dimensi vertikal mewujud dalam takbir, sedangkan dimensi horizontal mewujud dalam salam. Pertanyaannya, dapatkah seseorang salat tanpa dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam? Karena keduanya berkelindan dalam satu aktivitas, maka pengabaian terhadap yang kedua dan membanggakan yang pertama dalam kehidupan sosial adalah keliru, pun sebaliknya, terkutuk lagi celaka.
Tentunya jika kita bersungguh hati dalam mengamalkan dimensi horizontal, maka tidak akan ada pengabaian terhadap anak yatim, fakir miskin dan para jomblo, juga tidak akan ada orang sholat yang celaka.
Lalu siapakah yang paling pendusta dan pembelit dari beberapa kriteria yang telah disebutkan? “Yang berbuat riya’ dan enggan memberikan bantuan,” Al-Ma’un memberi jawaban.
Lalu orang yang enggan beranjak dari zona nyamannya tersentak, kaget, tetapi masih saja enggan memberi sedekah dan bantuan dengan berbagai macam bualan.
Makassar, 13 Februari 2023
Penulis merupakan Sekretaris Umum HMI MPO Cabang Makassar Periode 2021-2022