“Priiittttt!”. Sontak suara peluit tersebut membuat saya kaget, sesaat setelah saya selesai berbelanja di sebuah supermarket. Tepat di belakang saya terlihat seseorang yang entah dari mana asalnya tiba-tiba mendekat dan menunjukkan gestur memegang bagian belakang kendaraan saya. Kemudian secara refleks saya mengeluarkan selembar uang dari kantong celana dan memberikannya kepada orang tersebut. Yap, orang tersebut adalah juru parkir atau tukang parkir.
Fenomena tersebut hampir dialami oleh sebagian besar orang ketika selesai berbelanja di supermarket dan di beberapa tempat umum lainnya. Keberadaan juru parkir di setiap tempat yang ramai dikunjungi sudah menjadi hal yang umum dan lumrah bagi semua orang. Setiap orang pun berbeda-beda dalam menyikapi hal itu, khususnya saat memberikan uang sebagai imbalan. Ada yang langsung memberikan, ada yang menolak dan langsung pergi, dan ada pula yang kritis mempertanyakan resmi tidaknya juru parkir tersebut.
Tapi mayoritas orang biasanya langsung memberikan imbalan, entah memang merasa pantas diberikan atau terpaksa karena tidak mau berlama-lama memperdebatkan dan cenderung merasa takut kepada juru parkir tersebut.
Kemudian, orang yang menolak memberi uang dan cenderung menanyakan keresmian seorang juru parkir dan rela berdebat dengan mereka, biasanya merasa tidak puas terhadap kinerja juru parkir dalam melayani dan menjaga kendaraannya. Dari ketidakpuasan tersebut merembet ke personal juru parkir, yang sudah pasti ada yang resmi dan tidak resmi (liar).
Respon dari juru parkir pun beragam. Ada yang merasa legowo tidak diberi imbalan karena (mungkin) sadar diri bukan juru parkir resmi dan ada yang cenderung konfrontatif, dengan cara mengintimidasi, merepresi, bahkan melakukan kekerasan fisik.
Juru parkir resmi biasanya cukup mudah dikenali dari atributnya; menggunakan rompi khusus, peluit, id card, dan memiliki karcis.
Di kota Makassar sendiri, keberadaan juru parkir terbilang sangat banyak, sama seperti kota-kota besar lainnya di Indonesia. Hampir di setiap titik keramaian atau tempat umum seantero kota Makassar kita dapat menjumpai juru parkir. Ada yang lengkap dengan atribut juru parkir, ada pula yang tidak sama sekali alias hanya mengenakan kaos oblong. Kebanyakan dari mereka berusia remaja hingga ‘bapak-bapak’.
Sebenarnya, kehadiran juru parkir ini memang diperlukan di beberapa tempat tertentu. Let’s say pasar, tempat-tempat wisata (Pantai Losari, Pantai Akkarena, Benteng Fort Rotterdam, dll.), restoran/warung makan atau kafe yang ramai pengunjung, dan tempat-tempat lainnya yang juga ramai dikunjungi. Mengapa perlu? Karena tempat-tempat tersebut otomatis dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan, roda dua maupun roda empat. Nah, keberadaan juru parkir akan mengatur posisi kendaraan tersebut agar senantiasa rapi dan tidak serampangan. Selain itu, juru parkir juga akan menjamin keamanan kendaraan yang ada.
Juru parkir di tempat-tempat tersebut juga biasanya resmi, dalam artian mereka dibawahi langsung oleh Pemerintah Kota Makassar, ataupun bekerja sama dengan pemilik tempat tersebut yang membuat mereka menjadi juru parkir tetap.
Jika kondisi “ideal” seperti itu yang kemudian terjadi, mungkin kita semua akan setuju dan tidak mempermasalahkan kehadiran juru parkir. Akan tetapi, realita yang terjadi sepertinya tidak demikian. Di beberapa tempat, keberadaan juru parkir justru menjadi sebuah permasalahan. Dan akar permasalahan utamanya sebenarnya adalah keberadaan juru parkir yang statusnya tidak resmi alias juru parkir liar. Hal itu berimplikasi ke berbagai permasalahan lain.
Pertama, tarif parkir yang tidak “normal”
Juru parkir tidak resmi biasanya menetapkan tarif yang tidak sesuai dengan ketetapan dari Pemkot Makassar perihal tarif parkir, yaitu tarif untuk sepeda motor berjumlah Rp 3.000 dan tarif untuk mobil Rp 5.000. Mereka mematok nominal yang lebih tinggi untuk setiap jenis kendaraan, khususnya kendaraan roda empat (mobil). Seperti kasus yang pernah terjadi di Pasar Sentral kota Makassar, di mana seorang pengendara mobil ditagih Rp 20.000 sebagai tarif parkir tanpa disertai karcis.
Kedua, penyalahgunaan lokasi parkir
Dalam beberapa kasus, juru parkir tidak resmi menggunakan lokasi yang tidak diperuntukkan untuk parkiran umum, seperti di depan rumah warga, depan pertokoan, trotoar, dan pinggir jalan. Di lokasi-lokasi tersebut, kadang ada peringatan dilarang parkir namun tidak diindahkan. Terkhusus untuk trotoar dan jalanan, meskipun di beberapa lokasi tidak ada himbauan dilarang parkir, namun penggunaan dua tempat tersebut sebagai lahan parkir tentu tidak dibenarkan–meskipun penggunaan jalan sebagai lahan parkir cenderung “diwajarkan”–namun akan jadi masalah ketika letak kendaraan terlalu ke tengah badan jalan. Seperti yang biasa terlihat di Jl. Pengayoman, lebih tepatnya di depan Toko Bintang.
Ketiga, menjadi sarana pungutan liar.
Di permasalahan yang pertama, yaitu tarif parkir yang tidak normal atau melebihi nominal yang ditetapkan oleh Pemkot Makassar, dapat dikategorikan sebagai pungutan liar. Namun, akan lebih jelas bahwa tarif parkir disebut sebagai pungutan liar apabila di suatu tempat terdapat tulisan “Parkir Gratis”, tetapi ada orang yang mengaku sebagai juru parkir. Salah satu contohnya adalah di kawasan kuliner Lego-Lego CPI Makassar.
Terlepas dari ketiga permasalahan di atas, sebenarnya masih terdapat beberapa permasalahan lain yang disebabkan oleh keberadaan juru parkir tidak resmi atau juru parkir liar di kota Makassar yang cenderung mengarah ke kriminalitas, seperti pencurian dan pengeroyokan.
Menjamurnya profesi juru parkir di kota Makassar–bahkan di Indonesia–secara umum dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi. Mayoritas juru parkir secara umum berasal dari golongan masyarakat dengan status ekonomi menengah ke bawah. Sempitnya lapangan pekerjaan ditambah dengan kualifikasi pekerjaan yang semakin hari semakin sulit, memaksa orang-orang memilih “jalan pintas” untuk mendapatkan uang. Maka menjadi juru parkir adalah salah satu jawabannya.
Penulis : Dien Fakhrur Razi, Mahasiswa FISIP Universitas Hasanuddin/Fans (layar kaca) Manchester United.