“Mantan Koruptor yang seharusnya disambut amarah, justru disambut tangis bahagia”.
Informasi bebasnya Mantan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah (NA) belum lama ini memenuhi beranda media sosial.
Setelah menjalani separuh lebih hukuman penjara, NA kini menghirup udara segar.
Bebasnya NA disambut tangis keluarga dan simpatisan, bahkan beberapa tokoh politik hingga pejabat seketika menemuinya.
Penyambutan mantan narapidana dari kalangan tokoh politik bukan pertama kali terjadi.
Yang terbaru adalah bebasnya Anas Urbaningrum yang juga disambut bak pahlawan usai menjalani kurungan 9 tahun lebih.
Sama dengan NA, Anas juga disambut oleh loyalisnya layaknya sosok berjasa.
Fenomena penyambutan mantan napi membuat penulis bertanya-tanya, wajarkah menyambut mantan pelaku kejahatan? apa yang mendorong simpatisan tetap loyal terhadap bersangkutan?
*Emosi Sosial
Emosi sosial merupakan salah satu gejala fenomena Post Truth dimana seseorang mengesampingkan nilai kebenaran demi kepuasan perasaannya.
Fenomena NA disambut ratusan warga menjadi contoh nyata betapa masyarakat begitu mengedepankan perasaan dibanding fakta. Simpatisan mengabaikan fakta bahwa sosok NA memiliki rekam jejak sebagai pelaku kejahatan negara sehingga mampu menerima kembali NA sebagai pribadi yang baik.
Meski begitu, bukan hal mudah menjadi sosok NA yang dicintai. Simpatisan juga punya alasan kuat menerima NA dengan mudah.
Sebelum ditangkap, NA menjadi cerminan kepala daerah teladan, bahkan memperoleh penghargaan pemimpin daerah anti korupsi.
Meskipun mayoritas penghargaan NA diterima saat menjadi Bupati Bantaeng dua periode, bukan saat jabat sebagai gubernur.
Segala prestasi NA yang pernah diraih, membuat simpatisan enggan berpaling, meskipun NA pada akhirnya secara sah terbukti bersalah menerima gratifikasi sebesar 2 miliar.
Disisi lain secara hukum, simpatisan tidak bisa membantah bukti KPK, namun secara sosial, KPK tidak bisa memberangus emosi sosial para simpatisan, yang terlanjur cinta dan mengenal NA sebagai figur positif.
Artinya, di era post truth, hal negatif apapun yang dilakukan NA, tidak akan mengurangi kecintaan simpatisan, sekalipun NA merugikan negara, bahkan mengancam nyawa manusia.
Disini simpatisan menempatkan fakta hukum di urutan yang kesekian, dan lebih memprioritaskan kepuasan emosinya dibanding menerima kebenaran.
*Yakin NA Dikriminalisasi
Awal penangkapan NA di Makassar, keyakinan bahwa NA adalah korban kriminalisasi mulai menguat.
Kendatipun tidak dimuat media, keyakinan bahwa NA dikriminalisasi melekat kuat pada benak simpatisan.
Selain karena ketidakpercayaan simpatisan NA berperilaku demikian, mereka juga mencurigai penangkapan NA yang terbilang senyap. Diketahui, proses OTT KPK memang dilakukan saat dini hari (tengah malam).
Hal ini menurut simpatisan, menjadi salah satu bukti betapa NA diincar oleh pembencinya, sehingga NA dianggap sebagai tahanan politik, dimana seolah-olah NA dijebak dan proses penetapan tersangkanya direkayasa penegak hukum.
Secara fakta, dugaan NA dikriminalisasi memang tidak bisa dibuktikan, namun dalam kacamata post truth, perasaan tentang sosok yang terlanjur kita percaya, lebih mudah diterima, kendatipun hal itu bukan kebenaran dan begitu subjektif.
Adanya keyakinan kuat bahwa NA tidak bersalah membuat simpatisan membela NA dan mengabaikan bukti-bukti hukum.
Siapa saja yang pernah disentuh perasaannya oleh tindakan NA, akan cenderung tidak percaya dengan perilaku suap dan gratifikasi yang dilakukan. Hal ini karena pengalaman-pengalaman baik yang pernah mereka saksikan atau alami langsung dengan NA.
Simpatisan menganggap karena sosok NA adalah orang baik, maka tidak sedikit orang akan berusaha menjatuhkan NA.
Dari kuatnya keyakinan NA dikriminalisasi, ada dua hal yang dibaca penulis.
Pertama NA dinilai mengeluarkan kebijakan yang menimbulkan ketidakpuasan ekonomi, kedua selama menjabat Gubernur, NA belum mampu mengakomodir kepentingan politik tertentu, sehingga memicu kekecewaan politik.
Jadi menjadi wajar saja, meskipun NA pernah merugikan negara, simpatisan masih saja loyal.
Terlepas dari semua itu, sebaiknya, sebagai warga negara, kita semestinya menempatkan kebenaran lebih diatas dari segalanya, terlebih ketika kebenaran itu diperhadapkan dengan kebatilan.
Penulis khawatir, kecintaan warga terhadap NA, yang ditampakkan secara berlebihan, dapat melegitimasi perbuatan korup yang sejatinya terbukti diperbuat NA. Alhasil, perbuatan korup dianggap sebagai hal yang sama sekali tidak berbahaya dan dibiarkan.
Satu fakta yang tak bisa dibantah simpatisan NA, bahwa NA tetaplah mantan koruptor, terlepas hal itu diterima atau tidak.
Begitu pula para pembenci NA, suka tidak suka, harus mengakui NA adalah dulunya kepala daerah berprestasi.
Kedepannya kita berharap, kepemimpinan NA semasa di Bantaeng dapat ditiru oleh pejabat lainnya, dan tindakan korup bersangkutan menjadi kasus terakhir di tanah air.
Semoga NA menjadi pribadi yang lebih baik.