Menyoal Nasib Pengamen di Kota Dunia


Ilustrasi Pengamen Jalanan [ sumber foto : suara.com]

Oleh :  Akbar*

MakassarBicara.com-Pernahkah anda didatangi pengamen? Bagaimana anda menanggapi pengamen tersebut? Pasti diantara pembaca pernah merasa risih dan seolah-olah tidak menganggapnya ada dengan melempar pandangan. Di kota-kota besar seperti Makassar, keberadaan Pengamen menjadi lumrah dan telah dianggap sebagai fenomena kemiskinan kota yang nampaknya akan terus ada.

Dibeberapa titik lampu merah kota Makassar selalu diramaikan oleh pengamen, salah satunya yang sering kita jumpai di lampu merah perbatasan Gowa-Makassar. Mereka terlihat berkelompok sambil membawa apa saja yang bisa menghasilkan uang, mulai dari sebila gitar hingga hanya bermodalkan tepukan tangan dengan suara pas-pasan.

Di negara-negara maju seperti Singapura, pengamen disulap menjadi seniman jalanan ‘Papan Atas’. Artinya mereka mampu tampil dan menghibur masyarakat dengan cara, waktu dan tempat yang tepat. Sehingga tidak heran keberadaan pengamen di Singapura dipandang sebagai satu kesatuan yang dibutuhkan oleh sebuah kota, bahkan negara.

Lalu bagaimana Nasib Pengamen di Kota Makassar?

Pengamatan penulis, yang juga sering lalu lalang berkendara di Kota Makassar, keberadaan pengamen terjebak dalam kondisi ‘dilematis’. Kondisi dilematis yang dimaksud adalah dimana pengamen di satu sisi dianggap sebagai patologi sosial (penyakit sosial), di sisi yang lain pengamen juga dilihat sebagai bentuk usaha mencari nafkah bagi mereka yang tidak memiliki akses terhadap lapangan pekerjaan.

Belum lagi sikap pemerintah yang masih selalu menempatkan keberadaan pengamen dalam posisi sebagai ‘sekelompok’ yang menganggu ‘ketertiban umum’, sementara sebagian masyarakat lainnya melihat pengamen sebagai aktor kriminal yang ditakdirkan hidup di jalanan. Stigma-stigma buruk demikian, menyeret para seniman jalanan ini pada ‘daftar hitam’ atau kelompok-kelompok yang terpinggirkan.

 

 

 

Penyebab Menjamurnya Pengamen

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) persentase penduduk miskin perkotaan pada September 2020 sebesar 7,88%, naik menjadi 7,89% pada Maret 2021. Artinya dibanding September 2020, jumlah penduduk miskin perkotaan pada Maret 2021 naik sebanyak 138,1 ribu orang. Hal ini dengan tegas membuktikan bahwa penduduk miskin perkotaan dari waktu ke waktu semakin meningkat. Penyebab utamanya masih seputar persoalan ‘klasik’ yaitu tidak seimbangnya jumlah angkatan kerja dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, belum lagi tingginya persaingan hidup di perkotaan. Untuk itu, persoalan kepadatan penduduk mesti menjadi perhatian khusus kita semua. Terlebih, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperkirakan pertumbuhan penduduk Indonesia pada 2035 mencapai 305 juta jiwa dan 2045 mencapai 450 juta jiwa.

Membanjirnya pengangguran menyebabkan angkatan kerja tadi tidak punya pilihan lain, selain mencari pekerjaan apapun untuk dilakoni demi menyambung hidup, yaitu dengan menjadi pengamen. Jika lapangan kerja masih tetap tidak tersedia sesuai dengan kepadatan jumlah angkatan kerja, maka sulit menghilangkan fenomena ‘pengamen jalanan’ ini, sebab kehadiran pengamen di perkotaan berasal dari faktor kemiskinan. Apalagi, dari waktu ke waktu, menurut BPS jumlah pengangguran semakin meninggi. Misalnya di Sulawesi Selatan, angka pengangguran pada Februari 2020 sebesar 5,70% naik 6,31% pada Agustus 2020. Meskipun mengalami penurunan pada Februari 2021 menjadi 5,79%, namun tidak akan berdampak signifikan bagi kelompok masyarakat marginal seperti pengamen jalanan.

Di sisi lain, kita mesti waspada sebab angka pengangguran yang kian membesar tersebut justru didominasi oleh usia produktif. Artinya, meskipun jumlah usia produktif tinggi tidak menjamin ‘produktivitas’ dalam suatu wilayah, apalagi jika pemerintah tidak mampu mengolahnya dengan cara-cara yang tepat.

Apakah Masyarakat Membutuhkan Pengamen?

Paling tidak, menurut penulis ada dua sudut pandang dalam melihat kebaradaan pengamen di kota-kota besar.

Pertama, dari sudut pandang pengendara. Dalam situasi tertentu pengendara melihat kehadiran pengamen sebagai objek yang paling bertanggungjawab atas kondisi mood pengendara. Bagaimana tidak, ketika suasana dalam kondisi penak, misalnya sepulang dari kerja, para pengamen menjajakan suara yang ‘ala kadarnya’. Akibatnya, bukan hiburan yang diperoleh pengendara, tetapi ‘tekanan’ karena disuguhi oleh performa yang tidak menarik, apalagi pada situasi dimana pengendara tidak tepat untuk menerima hiburan.

Belum lagi, pengamen yang kurang sopan, mulai dari berperilaku memaksa, menggertak hingga adu fisik dengan pengendara. Dalam kondisi tertentu, pengamen dianggap tidak hanya sebagai beban, tetapi juga dilihat sebagai masalah sosial. Sehingga para pengamen mesti mengenal momen yang tepat untuk menjual suaranya di jalanan karena bisa jadi maksudnya untuk menghibur justru merusak mood pengendara. Pengamen yang tidak mengenal situasi, kondisi dan tempat inilah yang terkadang membuat kita, pengendara dan sebagian masyarakat merasa risih terhadap kehadiran mereka.

Kedua, melihat pengamen dengan sudut pandang kelompok masyarakat yang sama-sama terpinggirkan dan kelompok yang memberikan uang karena empati. Kelompok masyarakat pinggiran justru melihat pengamen sebagai buah dari ‘ketidakmampuan’ Pemerintah Kota Makassar dalam mesejahterakan masyarakatnya, meski harus diakui tidak semua pengamen merupakan penduduk asli kota. Kelompok ini menilai bahwa Pemerintah telah gagal dalam menjalankan amanah yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 yang berbunyi ‘Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara’.

Semestinya negara mengambil peran penting dalam menyelesaikan persoalan ini, seperti yang tertuang dalam pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara’’. Artinya negara atau pemerintah bertanggung jawab dalam hal menjaga, melindungi serta memberdayakan masyarakatnya termasuk para pengamen jalanan. Hemat penulis, semakin tinggi angka kemiskinan di suatu wilayah akan semakin menandakan bahwa adanya kegagalan ‘tidak biasa’ dalam mengelolah pemerintahan. Sederhananya, kehadiran pengamen mau tidak mau harus diterima sebagai faktor kemiskinan. Tidak hanya itu, keberadaan pengamen juga berpengaruh terhadap pembentukan citra dan wajah kesejahteraan suatu wilayah.

Bagaimana Seharusnya Pemerintah?

Kehadiran para pengamen di Kota Makassar memang belum begitu diperhatikan oleh pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif. Padahal persoalan pengamen sedikit banyaknya berpengaruh dalam pembentukan citra Kota Makassar sebagai Kota Dunia dan Sombere. Sedangkan jargon ‘kota dunia’ tidak mungkin identik dengan kemiskinan. Begitu pula dengan jargon ‘sombere’  tidak mungkin disematkan pada Kota Makassar jika tidak mempedulikan nasib-nasib seniman jalanan ini. Dengan begitu, bagi penulis membiarkan pengamen tanpa perhatian khusus pemerintah sama dengan memelihara kemiskinan.

Dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen. Salah satu tujuan Perda tersebut yakni berusaha untuk ‘meminimalisir’ jumlah pengamen, namun justru dipandang keliru oleh penulis. Kekeliruan tersebut dapat kita amati dimana pemerintah masih menggunakan strategi paling klasik dalam menghadapi persoalan ini dengan selalu mengedepankan dalil, menertibkan pengamen demi menjaga ‘ketertiban umum’. Bagi penulis menyangkutpautkan pengamen dengan ketertiban umum justru semakin menyudutkan mereka yang tidak punya pilihan lain selain bertaruh hidup di jalanan.

Terbukti, dalam implementasi kebijakannya tidak jarang kita memperoleh informasi dan menyaksikan sendiri di lapangan, betapa garangnya pemerintah dalam menyikapi persoalan ini. Pemerintah menganggap fenomena ‘pengamen jalanan’ sebagai sesuatu hal yang mesti dilenyapkan. Sehingga tidak heran, metode penangkapan pun tidak ragu diterapkan aparat untuk memburu para pengamen dengan alasan akan diberdayakan. Jika betul mereka diberdayakan setelah ditangkapi, lalu mengapa masih saja pengamen setelah dibina tetap berkeinginan menjadi pengamen lagi? Hal demikian menandakan bahwa ada yang keliru dalam penerapan Perda ini.

Oleh karenanya pemerintah hendaknya mengubah paradigmanya dalam melihat persoalan ini, dari kehadiran pengamen yang dianggap ‘meresahkan’ menjadi pengamen bagian dari kemajuan Kota Makassar. Soal pemberdayaan pengamen, menurut penulis ini buka hal yang sulit, asal pemerintah mampu mengoptimalkan kehadiran instansi atau lembaga yang memang secara khusus mengurusi persoalan masalah sosial.

Apalah gunanya Dinas Sosial dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak Kota Makassar didirikan, jika tidak mampu menjawab persoalan ini secara konkrit. Pemkot Makassar bisa meniru kegiatan-kegiatan seperti ajang pencarian bakat guna menyaring dan menyiapkan pengamen yang professional sehingga menyuguhkan penampilan yang tidak hanya sekedar mengamen tetapi juga betul-betul dapat menghibur masyarakat dengan nyaman dan aman. Apalagi tidak semua pengamen tampil apa adanya, ada juga yang memang mempunyai bakat dan menjanjikan. Ini yang mestinya dilihat pemerintah sebagai ‘peluang’. Kehadiran pengamen mesti disulap menjadi keuntungan untuk Kota Makassar dengan memfasilitasi mereka dalam menyalurkan profesinya. Sehingga pengamen dapat menjadi kebutuhan masyarakat dan berkontribusi dalam membentuk citra Kota yang betul-betul Sombere dan mengayomi yang lemah. Terlebih disituasi pandemi, pengamen mesti menjadi solusi menaikkan imun diri. Peduliki’ Salamakki’

 

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sosiologi UNM/Ketua Umum HMI MPO Cabang Makassar periode 2021-2022