Moderasi Beragama di Abad Cyberspace : Trajektori dan Signifikansi


Penulis

Oleh Muhammad Hilmi A.Y*

MAKASSARBICARA.ID – Mengulas balik ketika Kementerian Agama Republik Indonesia menetapkan tahun 2019 sebagai ‘Tahun Moderasi Beragama’. Dalam hal ini, setiap kebijakan maupun program dari Kementerian Agama cenderung berkiblat pada konsep Moderasi Beragama. Institusi ini berupaya menjadi mediator dalam situasi yang serba disrupsi keberagaman sehingga memengaruhi aspek kehidupan beragama dan berbangsa. Moderasi beragama ditafsirkan sebagai upaya membimbing masyarakat dalam memahami agama secara moderat dan tidak bersikap ekstrem dalam praktik keagamaan.

Moderasi beragama dianggap sebagai kerangka yang penting dalam mengatur kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultural. Bukan hanya menjadi kebutuhan individu atau lembaga, namun juga menjadi kebutuhan yang umum bagi warga dunia saat ini di tengah perkembangan teknologi informasi dalam menghadapi kapitalisme global dan era digital. Narasi keagamaan menjadi penting dalam konteks ini, karena mampu mengarahkan dan membimbing masyarakat dalam menghadapi perubahan zaman..

 

Konsep Moderasi Beragama

Moderasi beragama berarti cara beragama melalui jalan tengah sehingga seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya (Kemenag RI, 2019). Menurut KBBI, moderasi memberikan dua pengertian penting yaitu: pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman (Departemen Pendidikan Nasional, 2005). Sedangkan dalam bahasa Arab moderasi dikenal dengan al-wasathiyah yang bermakna terbaik dan paling sempurna sementara orang yang mempraktekkannya disebut moderat.

Prinsip moderasi sudah dikenal dalam mitologi Yunani kuno dan dipahatkan pada inskripsi patung Apollo di Delphi dengan tulisan Meden Agan, yang berarti ‘tidak berlebihan’. Dalam Islam ada konsep wasathiyah, dalam tradisi agama Kristen ada  konsep  golden mean, dalam tradisi agama Buddha ada Majjhima Patipada, dalam tradisi agama hindu ada Madyhamika, serta dalam Konghucu juga ada konsep Zhong Yong. Semua istilah dalam agama tersebut bermuara pada satu titik yang sama, yakni  memilih jalan tengah di antara dua kutub yang ekstrem dan tidak berlebih-lebihan merupakan sikap agama yang paling ideal (Kemenag RI, 2009).

Tantangan nyata yang dihadapi oleh agama-agama besar di dunia adalah ekstremisme, radikalisme, intoleransi, dan ekslusivisme. Ada kelompok agama yang mempraktikkan ajaran agama yang penuh cinta dan toleransi, namun banyak pula ditemui kelompok agama yang mengedepankan etnosentrisme (Jun, 2018). Beberapa individu dalam kelompok ini melakukan tindakan kekerasan, dengan pandangan bahwa agama yang mereka anut lebih baik dibandingkan agama lainnya. Sebagai upaya pencegahan dari pemahaman agama yang ekstrem, pemerintah berusaha meningkatkan pemahaman moderasi beragama di kalangan masyarakat. Moderasi beragama menjadi penting sebagai upaya pencegahan penyebaran paham radikalisme di Indonesia.

 

Agama dan Perkembangan Teknologi

Dewasa ini perkembangan teknologi informasi yang dikenal dengan abad virtual telah membawa konsep-konsep sosial seperti integrasi, persatuan, dan solidaritas dalam batas yang mengkhawatirkan. Jaringan informasi yang bersifat transparan dan virtual menyebabkan berbagai hal semakin terbuka luas karena tidak adanya kategori moral dan ukuran nilai yang membatasinya. Maraknya dunia virtual yang mudah diakses juga membawa masyarakat pada masalah yang paradoks. Di satu sisi, masyarakat semakin gencar mengekspresikan identitas keagamaannya, namun di sisi lain, berbagai ruang digital diwarnai oleh narasi keagamaan yang tidak objektif dan cenderung mengandung nilai fanatisme hingga membenci kelompok lain.

Moderasi beragama yang disebarkan melalui teknologi informasi dapat menjangkau masyarakat lebih luas, terutama pada generasi millennial. Namun, persaingan di ruang digital menjadi sangat penting dalam dominasi narasi-narasi keagamaan pada media sosial. Tanpa narasi keagamaan yang moderat dan mengutamakan nilai toleransi, ruang digital dapat menjadi tempat bagi tindakan yang bebas. Dalam kondisi seperti ini, kebebasan yang tidak diimbangi dengan nilai toleransi dapat memunculkan konflik dan pandangan yang intoleran.

 

Media Sosial Sebagai Sarana Moderasi Beragama

Periode revolusi 4.0 pada abad 21 ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi, yang terlihat jelas pada peningkatan jumlah pengguna media sosial. Di Indonesia, pada periode kuartal II 2019 hingga 2020, jumlah pengguna internet meningkat sebesar 8,9 persen menjadi 73,7 persen dari populasi, setara dengan 196,7 juta pengguna. Angka ini mengalami kenaikan sebesar 25,5 juta pengguna dibandingkan tahun 2018 (APJII, 2020). Sementara pengguna aktif media sosial mencapai 170 juta dari 274,9 populasi penduduk. Artinya, jumlah pengguna media sosial di Indonesia setara dengan 61,8 persen total populasi pada Januari 2021.

Hal ini menunjukkan bahwa media sosial memiliki potensi sebagai sarana untuk mempromosikan konsep moderasi beragama. Namun, akses yang luas terhadap media sosial juga harus diimbangi dengan kemampuan literasi digital untuk mampu menilai informasi dengan kritis. Gerakan literasi digital yang muncul seiring dengan dominasi media di era revolusi 4.0 diharapkan dapat memberikan edukasi yang praktis dan fleksibel untuk memperkuat kerukunan umat beragama di Indonesia.

Aktivitas diskriminasi masih banyak ditemukan, utamanya intoleransi dan berbagai ujaran kebencian terhadap suatu agama yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan negara Indonesia. Sumber masalah sering kali berawal dari penyalahgunaan media sosial. Oleh karena itu, strategi yang dapat dilakukan adalah menyebarkan konsep moderasi beragama melalui media sosial sebagai bentuk kebalikan dari tindakan tersebut.

Dengan akses internet yang semakin luas, media sosial kini menjadi alat utama untuk menghubungkan orang-orang dan mempromosikan ideologi atau pesan tertentu, termasuk moderasi beragama. Dalam hal ini, Instagram dan Facebook menjadi media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia, dapat menjadi platform untuk menggalang dukungan dan memobilisasi orang-orang dalam kampanye moderasi beragama. Kampanye semacam ini dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok. Sebab sudah semestinya setiap pengguna media sosial menjadi agen yang siap berpartisipasi dalam mengkampanyekan moderasi beragama, layaknya kampanye lain seperti pencegahan HIV/AIDS atau pengurangan sampah plastik (Wibowo, 2019).

Pentingnya isi konten dalam memperkuat moderasi beragama melalui media sosial juga tidak bisa diabaikan. Konten di media sosial berfungsi sebagai sumber informasi bagi pembaca. Maka informasi yang disajikan dengan cara menarik dapat meningkatkan minat baca seseorang. Penggunaan elemen visual dan audio dalam konten dapat memikat pengguna media sosial untuk membaca, menonton, dan memahami konteks yang dihadirkan. Strategi yang tepat dalam menyajikan konten adalah menyesuaikan dengan karakteristik target audiens.

Peningkatan moderasi beragama sebenarnya juga dapat dilakukan secara langsung ke masyarakat. Namun, media sosial dapat digunakan sebagai strategi tambahan dalam menggalakkan krisis moderasi beragama di Indonesia. Dukungan dari pemerintah dalam Gerakan Literasi Digital di era 4.0 menjadikan media sosial sebagai sarana praktis yang dapat dengan cepat menyentuh masyarakat untuk merekonstruksi moderasi beragama di abad 21.

 

Penutup

Penerapan moderasi dalam agama tidak dapat dilakukan secara individual, tetapi harus dilakukan bersama-sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Penggunaan moderasi sebagai framing adalah kunci bersama dalam mengelola kehidupan beragama di tengah masyarakat yang multikultural. Terlebih lagi, dalam era digital saat ini, perlu pertimbangan secara cermat mengenai konten yang disampaikan agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, khususnya generasi milenial.

Perkembangan teknologi digital saat ini menekankan pentingnya kewaspadaan masyarakat agar tidak terperangkap dalam konsumerisme agama. Segala informasi harus benar-benar dikaji dan diteliti. Sehingga tidak terjebak dalam aliran informasi digital yang dapat memengaruhi tindakan kita sesuai dengan apa yang disajikan oleh media tersebut. Oleh karenanya, konsep moderasi dalam agama menjadi pondasi untuk memperkuat pemahaman agama melalui platform digital yang memiliki karakteristik multitasking. Hal ini bertujuan untuk menguatkan pemahaman agama yang moderat, toleran, dan penuh cinta kasih.


Referensi

Tim Balitbang Kemenag RI, 2019. Moderasi Beragama (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI).

Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI Nomor B-3663.1/Dj.I/BA.02/10/2019 tentang Rumah Moderasi Beragama tanggal 29 Oktober 2019.

Pilliang, Yasraf Amir. 2010, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

Sukowati, Muria Endah. 2015, Agama Media dan Pemasaran dalam Masyarakat Majemuk.  Yogyakarta : Litera.

APJII. (2020). Survei pengguna internet APJII 2019-Q2 2020. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, 73,3.

Jun, H. (2018). Social Justice, multicultural counselling, and practice: Beyond a conventional approach. In Sosial Justice. Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-319-72514-7

Wibowo, A. (2019). Kampanye moderasi beragama di facebook: bentuk dan strategi pesan. Edugama: Jurnal Kependidikan dan Sosial Keagamaan, 5(2), 85-103. https://doi.org/10.32923/edugama.v5i2.971

Penulis merupakan Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Wacana UKM LKIMB UNM.