*Oleh Akbar
MAKASSARBICARA.COM-Belakangan ini, kita diperhadapkan lebih sering dengan suatu hal yang tidak kita senangi. Kita sepakat bahwa harapan kita semua adalah ingin hidup dengan kedamaian sosial tanpa banyak menyaksikan adegan-adegan kekerasan. Terbaru, kita dipertontonkan adegan kekerasan oknum Satuan Polisi Pamongpraja (Satpol PP) Kabupaten Gowa.
Tidak hanya itu, banyak peristiwa-peristiwa kekerasan sebelumnya dan bukan tidak mungkin, kedepannya adegan kekerasan semakin marak dipertontonkan, mirisnya pelaku utamanya adalah satuan tugas (satgas) yang seharusnya hadir mengayomi masyarakat.
Dengan berbagai konflik sosial yang terjadi terutama yang disebabkan oleh arogansi oknum seakan mengantarkan kita pada sebuh kesimpulan, bahwa covid bukan lagi pemicu utama kegaduhan di masyarakat kita, tetapi kehadiran satgas justru menambah penderitaan di tengah kondisi yang serba paceklik. Satgas menjelma menjadi sosok yang lebih menakutkan dibanding si covid. Anehnya, semua problematika ini terkesan dikehendaki secara sadar, disengaja dan dipertontonkan dengan nyata di hadapan publik.
‘Polisi’ Keyakinan Publik
Jika menelusuri jejak digital, kita akan menemukan orang-orang yang berani menyatakan keyakinannya tentang covid namun bernasib buruk tertangkap oleh aparat. Misalnya Asep Sakamullah, pemuda asal Jawa Barat yang menantang memegang mayat pasien covid guna membuktikan bahwa covid itu nyata atau tidak. Ada juga dokter Lois Owien yang mengatakan kematian pasien covid selama ini tidak sebabkan oleh covid melainkan karena interaksi antar obat. Mereka inilah yang mengungkapkan keyakinannya terhadap covid namun justru ditangkap oleh aparat karena dianggap memprovokasi warga serta meresahkan tenaga kesehatan.
Rentetan peristiwa tersebut dapat menjadi bukti betapa represifnya aparat dalam mengintervensi keyakinan warga. Padahal menyatakan pendapat di publik telah dijamin oleh konstitusi negara, namun tiap keyakinan warga harus sesuai dengan keinginan pemerintah. Jika pemerintah tidak senang dengan pendapat seseorang, maka pemerintah punya kewenangan dan punya alat untuk memberangus keyakinan yang dianggap meresahkan tadi. Bagi penulis, justru ketika pemerintah terlalu mengintervensi sampai pada wilayah persoalan percaya atau tidak percaya, akan terkesan terlalu berlebihan dan kekanak-kanakan.
Lagi pula, memposting keresahan, ketidakpercayaan, pendapat atau apapun namanya, bukanlah sesuatu yang langsung diaminkan oleh publik. Publik masih bisa memilih, apakah ingin menerima, mengkonsumsi, terprovokasi atau tidak, terutama terhadap keberadaan si covid. Kini pemerintah melalui aparatnya terlanjur nyaman dalam menekan, membatasi dan mengendalikan opini publik, yang justru memasung kebebasan masyarakat dengan dalil-dalil pembenaran sepihak pemerintah. Antara pemerintah bersama aparatnya selalu tampil kompak dalam mengawasi dan ‘membunuh’ keyakinan-keyakinan warganya, apalagi keyakinan yang bertentangan dengan keyakinan pemerintah. Tentu bagi penulis hal demikian teramat keliru dan menyesatkan.
Pada akhirnya, pembunuhan terhadap keyakinan publik sama halnya membunuh kepercayaan warga terhadap pemerintah. Jadi tidak heran, semakin banyak kebijakan pemerintah dalam memerangi covid, justru masyarakat semakin cuek dan tidak peduli.
Malaikat Maut Yang Berseragam
Satgas covid tidak hanya sebagai ‘polisi keyakinan’, tetapi juga sebagai polisi sosial yang sewaktu-waktu membubarkan segalanya. Di Makassar misalnya, pemerintah kota telah membentuk Satgas Pengurai Kerumunan (Raika), Satgas Hunter, Satgas Detektor dan yang sementara diwacanakan adalah satgas pemburu masker.
Persoalannya adalah tindakan-tindakan tiap satgas yang dinilai sebagian pihak kurang mengedepankan pendekatan humanis. Misalnya dalam penindakan pelanggar aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro di beberapa titik Kota Makassar, dimana satgas Raika menyita kursi-kursi warkop dan warung makan yang terjaring razia dibeberapa titik seperti daerah Toddopuli, Kecamatan Mamajang, Kecamatan Wajo, Kecamatan Ujung Pandang, dan Kecamatan Mariso. Penindakan dengan cara-cara yang kurang humanis bagi penulis justru akan menunrukan trust terhadap pemerintah. Tindakan arogan satgas selalu dibenarkan dengan alasan ‘karena perintah atasan’ dan surat edaran. Satgas yang diharapkan dapat membantu masyarakat dalam penanganan covid, kini menjelma sebagai segerombolan berseragam yang bisa jadi memicu konflik sosial.
Mestinya, satgas cukup memberikan peringatan secara berkala dan jika tetap melanggar, sebaiknya melakukan penutupan usaha ‘sementara’ sebagai efek jera. Satgas seharusnya membubarkan kerumunannya, bukan menyita barang-barang usaha rakyat kecil. Jika terus memperhadapkan masyarakat dengan pilihan antara ‘persoalan perut’ dengan aturan, maka bisa jadi akan berujung pada konflik dan jatuhnya korban-korban sipil.
Untuk itu, pendekatan humanis satgas dalam menjalankan tugas mestinya menjadi catatan utama, agar maksud dan tujuan pembentukan satgas betul-betul dipahami dan diterima dengan baik oleh masyarakat. Jika terus menerus dengan cara-cara kurang humanis maka tidak hanya membuat satgas kehilangan empati yang pada akhirnya tidak berfungsi maksimal, satgas juga akan menjelma menjadi’ malaikat maut berseragam’ yang malah menakut-nakuti masyarakat.
Belum lagi, ancaman-ancaman yang menyandera kita, khususnya mereka yang tidak mau terlibat dalam mensukseskan program pemerintah, diancam tidak dapat mengakses pelayanan publik. Ancaman seperti ini kemudian justru menurunkan empati publik terhadap pemerintah. Mestinya pemerintah hadir dengan satgasnya dengan memberikan rasa aman, nyaman, bukan malah menakuti-nakuti masyarakatnya sendiri. Persoalan konflik sosial, seharusnya pemkot Makassar mesti belajar dari kasus satpol PP Kabupaten Gowa kemarin.
Apa yang diinginkan Warga?
Apakah beragam program pencegahan covid yang selama ini digalakkan pemerintah kota Makassar adalah benar-benar dibutuhkan warga dan apa hasil dan bagaimana evaluasinya? Kenapa semakin banyak program inovasi pemkot justru kasus covid terus meningkat?
Kini Pemerintah Kota Makassar menaikkan status kota Makassar dari zona orange ke merah, mengutip data situs resmi satgas Covid-19 Kota Makassar, sebanyak 35.470 konfirmasi aktif di 15 Kecamatan Se Kota Makassar dan sebanyak 621 jiwa diantaranya meninggal dunia. Dengan begitu, pemerintah kota harus lebih jeli memahami keinginan masyarakat yang sebenarnya. Yang dibutuhkan warga adalah jaminan hidup dan kenyamanan dalam menjalankan hidup. Jaminan hidup yang dimaksud penulis adalah pemerintah hadir dalam memberikan solusi konkrit, misalnya pemerintah menjamin masyarakatnya tidak akan mati kelaparan karena dikepung si covid. Sementara kenyamanan dalam menjalankan hidup adalah pemerintah diharap menjadi pelayan setia publik, apalagi ditengah gempuran si covid.
Jika pemerintah selalu hadir dengan program-program yang kurang melibatkan warga, maka yang kita saksikan hanya pembangkangan sosial, yang kemudian diperburuk oleh polusi-polusi imbauan, konflik aparat-warga dan si covid–lah keluar menjadi pemenang tunggal. Lalu bagaimana kita bersatu melawan si covid jika diantara kita yang masih saja saling berselisih?
Pemerintah mesti harus lebih memahami kondisi warganya. Sebab sebaik apapun program, jika warga tidak ‘ridho’ maka bisa diprediksi program tidak akan maksimal dan maksud baik pemerintah tidak akan sampai serta dipahami oleh publik. Tentu harapan kita semua adalah sinergitas yang baik antara pemerintah dan masyarakat Kota Makassar yang senantiasa membawa kita pada ‘surga sosial’ (ketentraman kehidupan), tidak dengan ‘neraka sosial’ yang muram lagi serba paceklik. Semoga momentum Idhul Adha ini, tidak hanya memperbaiki hubugan kita dengan tuhan, tetapi juga mempererat hubungan kita diantar sesama masyarakat dan pemerintah. Peduli ki, Salama’ki.
Penulis adalah Ketua HMI MPO Cabang Makassar, Mahasiswa Sosiologi UNM