*Oleh Ice Trisnawati
MAKASSARBICARA.ID – Pasang surut kajian feminisme tergantung dari referensi yang diterima atau dengan siapa paradigma tersebut didiskusikan. Akan tetapi lebih menarik jika poin utama lahirnya gerakan feminisme betul-betul dipahami.
Konstruk sosial, sejauh ini, telah melahirkan atau membangkitkan kesadaran bagi sebagian orang. Bahwa telah terjadi pembantaian sosial yang membatasi ruang gerak perempuan secara berkala dan itu mengakibatkan kerugian jangka panjang.
Indonesia tentu tidak asing lagi dengan sosok perempuan yang melahirkan pemikiran luar biasa dan berdampak besar bagi semua yaitu R. A. Kartini. Meski jadi tokoh perempuan nasional, apakah segala problematika yang ada sudah terselesaikan? Tentu banyak sekali bagian dari kehidupan perempuan yang masih terbatasi, seperti di ranah budaya, ekonomi, bahkan politik. Maka dari itu perlu untuk menganalisis dan menuntaskan sebagian besar problem yang terjadi saat ini. Saya akan membahas sedikit mengenai bagaimana budaya mengkonstruk atau menjarah tubuh perempuan dalam novel Norwegian Wood, karya Haruki Murakami.
Pembahasan soal tubuh perempuan dan laki-laki akan jadi topik perdebatan panjang jika ditinjau dari sudut pandang Haruki ketika menggambarkan sosok perempuan pada karyanya.
Saya bisa melihat dan merasakan bagaimana setiap sosok perempuan yang ada dalam novel Norwegian Wood dijadikan sebagai objektifikasi seksual oleh Haruki Murakami.
Saya sepakat bahwa Haruki ingin menunjukkan gambaran seksualitas yang berbeda dari novel tersebut. Bagaiamana sebenarnya seksualitas itu bekerja di dalam kondisi mental yang tidak mendukung untuk bersosialisasi apalagi untuk melakukan hubungan seksual. Namun apakah itu dapat dibenarkan dalam setiap adegan seksual tanpa adanya konsen dari salah satu pihak yang bahkan dalam keadaan jiwa yang masih memerlukan dukungan secara emosional.
Hanya saja saya tidak begitu sepakat dengan segala penggambaran tokoh perempuan yang dijadikan objek seksual bagi setiap laki-laki yang ada dalam novel tersebut. Seakan-akan penggiringan wacana mengenai interaksi antara laki-laki dan perempuan hanya sebatas hubungan seksual saja tanpa adanya perantara yang lain.
Buku ini memang sangat menakjubkan dan pastinya membuat para pembaca mendapatkan kenikmatannya sendiri dalam setiap moment yang ditunjukkan dalam novel. Namun sekali lagi kekeliruaanya adalah soal gaya interaksi setiap tokoh perempuan dalam karya tersebut.
Kekeliruan ini sangat terasa ketika salah satu tokoh utamanya dibantai dalam keadaan emosional yang tidak begitu mendukung dan harus dihadapkan dengan alur cerita yang mengkonstruk bahwa seperti inilah gaya interaksi laki-laki dan perempuan seharusnya.
Saya hanya fokus mengkritik interaksi laki-laki dan perempuan, walaupun banyak hal yang perlu dibahas soal sisi gelap kehidupan yang dijalani setiap tokoh. Ini jadi hal penting bagi orang yang kurang memahami gaya interaksi tersebut.
Keliru ketika memahami peradaban sejarah laki-laki dan perempuan hanya sebatas interaksi timpang yang terjadi di peradaban saat ini. Dengan begitu, perlu membuka mata dengan lebar dan mengesampingkan egosentrik individu yang ingin terlihat lebih dominan ketika meninjau setiap kehadiran perempuan, baik di karya sastra, ekonomi, dan politik. Setiap manusia memiliki porsinya masing-masing yang hanya diraih atau mampu diasah dengan memberikan kesempatan,dalam artian memberi ruang untuk menunjukkan hal tersebut tanpa adanya batasan, termasuk alasan karena gender perempuan.
Ini juga jadi kritik untuk orang-orang yang tidak memahami pentingnya perjuangan feminisme di ranah sosial.
Setelah mendiskusikan novel ini dengan berbagai teman, saya akhirnya paham bagaimana laki-laki dan perempuan memliki pandangan berbeda soal ketimpangan hubungan gender yang juga dibahas secara global. Tidak mengejutkan ketika rekan saya membuat kesimpulan yang menormalisasi ketimpangan hubungan gender. Pasalnya, sudah ramai terkonstruk bahwa perempuan hanya dijadikan objek seksual.
Namun hal ini menjadikan saya begitu bersemangat untuk membahas novel tersebut karena penggambaran Haruki mengenai setiap tokoh yang ada dalam karyanya. Apalagi kesimpulan yang telah diberikan oleh rekan saya mengenai novel tersebut. Seoalah-olah peradaban akan terhenti jika seksualitas tidak terjadi antara interaksi laki-laki dan perempuan.
Bukan bermaksud menyampaikan bahwa seksualitas tidak baik untuk kesehatan, saya hanya tidak menyukai jika pemaknaan interaksi harus melibatkan seksualitas. Jika ada yang telah membaca novel ini dan ingin berbagi, saya berkenan untuk berdiskusi guna meraih pemahaman atau kesimpulan yang berbeda.
Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi FEBI UIN Alauddin Makassar.