OPINI: Jagat Maya, Corong Baru Kekerasan Verbal


Sumber: www.liputan6.com

Oleh Maulana Martun*

MAKASSARBICARA.ID-Dalam dua puluh tahun terakhir, jagat maya menjadi panorama baru, dengan sosial media sebagai asbab hadirnya.

Sosial media pun me-nyata karena teknologi yang berkembang begitu pesatnya. Teknologi dewasa ini tidak sekonyong-konyong hadir begitu saja, ada proses yang panjang, melibatkan banyak orang, tenaga yang terbuang, dan perkakas pengetahuan yang matang.

Namun segala ihwal itu titik start-nya adalah penemuan mesin uap oleh James Watt yang membuat peradaban semakin maju dan berkembang. Hingga menyulut lahirnya penemuan-penemuan lain yang memudahkan.

Kiwari, jagat maya menjadi dunia baru sekaligus tempat berselancar yang paling seru.

Anda bisa bercakap dengan sahabat walau tidak setempat, menonton artis idola tanpa banyak kendala, membeli barang kesukaan tanpa hadir di pusat perbelanjaan, bahkan bisa juga mencari gebetan walau muka pas-pasan dan belum mapan, yang penting bisa move on dulu dari mantan.

Tak dimungkiri, dunia maya dengan perkakas mutakhirnya membuat hajat hidup orang banyak menjadi lebih mudah dan makin mantap, wabil khusus dalam hal komunikasi.

Dan untuk malakoni pusparagam aktivitas di jagat maya, Anda cukup memiliki dua hal, yaitu gawai cerdas dan kuota internet.

Namun, dengan pernak-pernik kemudahan komunikasi yang ada sekarang. Media sosial dan jagat maya menghadirkan satu problem yang serius yakni maraknya komentar-komentar jahat di dalamnya.

To be honest, sudah lama saya ingin menulis tentang ini, walakin karena terlalu banyak mikirin kamu, jadinya agak telat dan akhirnya bisa rampung hari ini.

Ketika sedang asik dan girangnya bersosial media, saya sering terheran nan bertanya-tanya, mengapa selalu saja ada komentar, unggahan dari netizen-netizen yang budiman di platform media sosial (instagram, youtube, facebook, twitter, dll) berbau bulian, hinaan nan juga cacian?

Seakan jagat maya menjadi tempat yang paling nyaman dan menyenangkan untuk mengata-ngatai seseorang.

Padahal yang membuli dan yang dibuli, yang menghina dan yang dihina, yang mencaci dan yang dicaci, tidak saling kenal secara personal, bersua, apatah lagi berteman akrab.

Namun diksi, goblok, gendut, jelek, sok cantik, burik, anak lont*, pelac*r, dekil, hitam dan kata-kata ‘mutiara’ lainnya begitu mudah diajarkan kepada orang lain, hingga membuat dunia maya begitu kacau balau.

Apalagi komentar-komentar yang mengarah pada area selangkangan (mohon maaf) begitu banyak dijumpai.

Di jagat nyata, seseorang akan berpikir seribu satu kali untuk melontarkan kata-kata di atas jika sedang berhadapan dengan orang lain.

Jemari netizen +62 memang semaunya menari, maka sudah sangat wajar Digital Civility Index yang dilansir oleh Kompas.com (2021/02/06) mendaulat warganet Indonesia sebagai pemenang telak dalam kategori pengguna media sosial terbarbar (tidak sopan) se-Asia Tenggara. “Prestasi” yang luar biasa bukan?

Kita mengira, bahwa komentar, cuitan dan unggahan kita yang bernada ‘jahat’ di media daring itu biasa dan tidak berpengaruh.

Padahal, punya efek besar pada jatuhnya mental seseorang.

Akhirnya ia tidak percaya diri, cenderung mengurung nan murung, dan kemungkinan terburuk ia tidak bisa mengembangkan diri.

Tak jarang hate speech seperti ini sampai pada rana hukum, dan yang paling naas adalah mendekam di jeruji besi.

Contoh kasus komentar jahat yang paling anyar adalah cuitan KJ di twitter yang diduga menghina Istri Presiden.

Bagusnya netizen-netizen yang suka berkomentar jahat, buang saja ke Konohagure biar dirasengang oleh Naruto Uzumaki.

Kembali ke pertanyaan awal, mengapa netizen berani berkomentar jahat di platform media sosial?

Kaget budaya (cultural shock), tidak paham UU ITE, hilangnya adab (loss of adab), menjadi salah tiga jawaban yang paling banyak saya dengar.

Jawaban-jawaban di atas ada benarnya, namun saya lebih sepakat pada apa yang diedarkan dalam tulisan, Dari Angkringan ke Medsos.

Tulisan ini bisa teman-teman daras dalam semesta punggung buku bertajuk Sapiens di Ujung Tanduk (2022) buah pikir Ikbal Aji Daryono.

Lewat tarian aksara dalam bukunya itu, Kang Ikbal membeberkan, di jagat maya, kita kadang merasa impersonal (bukan menjadi diri kita).

Ada bius ilusi yang membuat kita saat bermedia sosial merasa seakan-akan bukan manusia karena hanya menggerakkan akun, bukan diri kita secara langsung.

Kita merasa sedang memainkan tokoh-tokoh dalam game online yang menembaki musuhnya.

Oleh karena merasa impersonal, merasa tidak diketahui, dan merasa tidak bisa dilacak.

Apalagi yang menggunakan akun fake, kita bebas mengetik dan berkomentar apa saja, tanpa menimbang itu bisa merugikan orang lain dan diri kita.

Padahal yang kita gerakkan di jagat maya adalah akun riil dengan nama, foto dan alamat yang zahir tertera dalam bio.

Inilah causa prima dari berseliwerannya hinaan dan cacian di media sosial.

Seandainya KJ membaca tulisan Kang Ikbal sebelumnya, mungkin ia tidak akan tersandung kasus seperti sekarang.

Wal akhir, karena jagat maya sudah menjadi dunia kedua bagi makhluk yang bernama manusia, mari kita sebagai insan yang sadar, menebar kebaikan dan kedamaian di dalamnya dengan berbahasa, berkomentar yang benar dan bijak.

In ahsantum, ahsantum li anfusikum.

Penulis merupakan mahasiswa yang lahir di Bima, biasa dipanggil Maul, tapi paling senang kalau dipanggil makan