Oleh Akbar*
MAKASSARBICARA.ID-Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia menjadi wadah subur tumbuh kembang masjid-masjid.
Masjid sebagai rumah ibadah sekaligus simbol Islam tidak hanya sebagai sarana spiritual tetapi juga menjadi ruang interaksi berbagai latar belakang sosial.
Masjid sebagai sebuah bangunan tidak hanya berkaitan dengan ritual penyembahan, namun masjid menjalankan fungsi ganda.
Fungsi ganda yang dimaksud penulis yakni masjid dapat memupuk keharmonisan sosial di masyarakat.
Fungsi ganda tersebut selaras dengan konsep kehidupan dalam Islam, yakni bagaimana manusia membumikan habluminallah wa habluminannas.
Memasyarakat masjid artinya mendekatkan masyarakat dengan masjid. Masjid tidak boleh berjarak dengan masyarakat, sehingga manfaat masjid dapat dirasakan secara menyeluruh.
Dalam konteks ini, keberadaan suatu masjid tidak terpaku pada mereka yang ingin beribadah, tetapi kepada semua manusia.
Label masjid sebagai ‘tempat surga dan neraka’ mesti mulai ditinggalkan. Dengan begitu mereka yang belum mampu beribadah secara sempurna, mau dan perlahan ke masjid.
Memasyarakatkan masjid mengandung makna bahwa melalui masjid, kerenggangan hubungan sosial dapat direkatkan kembali dan diperkokoh.
Untuk memaksimalkan peran sosial yang melekat pada masjid, maka sangat bergantung pada kualitas manajemennya. Terutama bagaimana takmir-takmir (pengurus) dalam mengelola masjid.
Namun harus diakui, masih banyak masjid-masjid yang belum memiliki manajemen yang baik, termasuk di Kota Makassar.
Belum sempurnanya pemahaman para takmir tentang hakikat masjid sebagai pelayan ‘tamu Allah’ memicu aturan-aturan aneh di dalam masjid bermunculan.
Banyak takmir atau pengurus masjid melarang jamaah beristirahat di masjid. Tidak sedikit pula mengusir anak-anak karena dinilai mengganggu.
Beberapa masjid di Kota Makassar bahkan memasang tarif parkir.
Meskipun hal tersebut tak masalah bagi sebagian orang, tetapi punya pengaruh pada kenyamanan para tamu Allah.
Tuhan saja tidak pernah melarang. Tuhan tidak pernah mengkomersialisasi masjid. Lalu mengapa kita justru mengusir dan melarang orang masuk dan menikmati masjid. Apalagi sampai-sampai memungut biaya parkir.
Akibatnya aturan-aturan tadi membuat masyarakat berjarak dengan masjid.
Kondisi ini harusnya disadari oleh takmir sehingga masjid dapat diterima masyarakat.
Hemat penulis, ada dua strategi memasyarakatkan masjid.
Pertama, menjadikan masjid sebagai pusat pemberdayaan.
Masjid bisa menjadi wadah pengembangan potensi warga tanpa harus kehilangan fungsi utamanya sebagai rumah ibadah, sebagaimana yang diterapkan oleh takmir Masjid Jogokariyan Yogyakarta.
Hal ini memungkinkan karena masjid memiliki posisi yang disakralkan masyarakat.
Sayangnya, masih banyak masjid yang fokus pada pembangunan fisik sehingga melupakan nasib warga di sekitarnya.
Cara membangun yang begitu ‘fisik sentris’ membuat masjid miskin kontribusi.
Padahal hakikat masjid adalah memberi. Percuma masjid megah tapi sepi jamaah, nir manfaat.
Terlebih kemegahan suatu masjid justru membuat warga sekitar malas ke masjid.
Padahal kita menginginkan agar semua mencintai masjid dan datang memakmurkannya.
Dengan menyulap masjid menjadi ruang pemberdayaan, akan membuat warga sekitarnya membutuhkan kehadiran masjid.
Kedua, menjadikan masjid sebagai pusat pelipur perselisihan.
Masjid sebagai pusat pelipur perselisihan memandang masjid sebagai solusi konflik atas perbedaan.
Dalam konteks ini, masjid menjelma menjadi simbol perdamaian. Masjid yang memproduksi nilai-nilai toleransi.
Keragaman kepercayaan dan keyakinan, ditambah dinamika masyarakat yang terus berubah, mengharuskan kita menempatkan masjid sebagai mediator atas selisih paham yang kontraproduktif.
Masjid yang membawa nilai toleransi mengingatkan kita betapa pentingnya menempatkan perbedaan sebagai landasan untuk saling menaruh sikap menghargai dan memuliakan.
Dengan seperti itulah masjid berkontribusi merawat kerukunan di lingkungannya.
Mari memasyarakatkan masjid agar masyarakat bergairah memakmurkan masjid.