MAKASSARBICARA.ID-Psikolog Universitas Negeri Makassar (UNM), Muhammad Rhesa menguraikan dua faktor penyebab kriminalitas.
Pertama, fenomena kriminalitas didorong oleh faktor lingkungan dimana individu berada.
Ia menjelaskan bahwa perilaku kriminalitas berlangsung ketika mekanisme penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) tidak berjalan dengan baik.
Menurutnya, ketika perilaku kriminalitas terjadi maka seharusnya lingkungannya memberikan sanksi.
Sanksi yang dimaksud tidak hanya dari penegak hukum (kepolisian) tetapi pemberian sanksi sosial dari lingkungan keluarga pelaku maupun masyarakat.
Ketika di suatu lingkungan utama seseorang, kemudian melakukan tindakan kriminal, namun tidak mendapatkan sanksi dari perilakunya atau pemberian sanksi itu ‘tertunda’ maka perilaku kriminalitas tersebut sangat memungkinkan muncul.
Selain itu, perilaku kriminal bisa muncul karena lemahnya nilai-nilai kebajikan yang didapatkan seseorang di lingkungan dimana mereka berada.
Jadi ditempat mereka tumbuh, tidak ada nilai kebajikan yang dijadikan sebagai prinsip untuk tidak melakukan tindakan diluar norma yang berlaku.
Artinya secara lingkungan tidak ada pegangan nilai. Ketika seseorang melakukan tindakan kriminal, lingkungannya tidak memberikan larangan, teguran dan sanksi maka besar kemungkinan perilaku tersebut akan terus-menerus terjadi dan berulang.
Dalam ilmu psikologi terdapat proses belajar sosial dimana orang-orang sangat memungkinkan untuk mempelajari perilaku-perilaku suatu kelompok.
Misalnya begitu seseorang masuk dalam kelompok kriminal, seseorang tersebut akan memahami bahwa kelompok tersebut merasa lumrah atau tidak merasa bersalah jika melakukan tindakan kriminal, maka nilai yang sama akan dianut oleh orang yang bergabung dalam kelompok tersebut.
Selain faktor lingkungan, tindakan kriminalitas seperti fenomena pembusuran juga didorong oleh faktor kepribadian.
Seseorang yang di masa kecilnya mengalami perilaku atau tumbuh dilingkungan kekerasan, kemudian diperparah dengan hubungan keluarga yang tidak harmonis, lalu individu tadi memiliki rasa frustasi secara sosial, maka berperilaku kriminal dianggap sebagai ‘jalan keluar’ dari permasalahan personal yang dialami.
Tidak hanya itu, bagi mereka yang memiliki trauma kekerasan di masa kecil bisa memicu keinginan melakukan hal serupa ketika dewasa, dimana dirinya menganggap telah memiliki kekuatan untuk melakukannya.
Dalam konteks ini, timbul perasaan untuk membalikkan situasi. Kondisi yang secara psikologis membuat dirinya tidak lagi sebagai korban tapi menjadi pelaku.
Lalu bagaimana cara mengendalikannya?
Kita harus melihat bagaimana proses perilaku ini bisa muncul sehingga untuk mengendalikannya dengan mempertimbangkan hal-hal yang berlawanan.
Misalnya ketika tindakan kriminal terjadi maka sebaiknya tidak ada ‘delay reaction’ atau reaksi yang tertunda.
Maksudnya adalah begitu kejahatan terjadi pihak berwajib sesegera mungkin menangkap pelakunya dan memperketat pengawasan, termasuk memandang fenomena pembusuran di kota Makassar sebagai kejadian luar biasa.
Terlebih perilaku kriminal seperti fenomena pembusuran, ketika didiamkan sangat memungkinkan perilaku yang sama ditiru oleh personal dan kelompok lainnya. Sehingga diperlukan upaya memperkecil peluang terjadinya tindakan-tindakan kriminalitas tersebut.
Catatan lainnya yang penting dipahami adalah nilai keuntungan baik materil maupun immateril dapat mempengaruhi persepsi pelaku kriminal dalam beraksi.
Jika dipersepsi bahwa keuntungannya lebih besar ketika tindakan kriminal dilakukan, maka semakin besar pula potensi kriminal tersebut terjadi serta dilakukan oleh seseorang maupun suatu kelompok, begitupun sebaliknya.
Sebagai solusinya, kita dapat men setting situasi agar tampak bahwa sangat memungkinkan pelaku kejahatan akan ketahuan dan mendapat hukuman.