Perspektif Lain Polemik Kereta Api Makassar


Foto : Ilustrasi. Sumber : https://media.istockphoto.com/
Foto : Ilustrasi. Sumber : https://media.istockphoto.com/

 

MAKASSARBICARA.ID­-Silang pendapat antara Wali Kota Makassar dan Gubernur Sulawesi Selatan, perihal pembangunan Kereta Api jalur Maros-Makassar masih menjadi perdebatan. Proyek strategis nasional prioritas tersebut mulai dikerjakan pada 2015 dengan rute keseluruhan Pare-Pare – Makassar sepanjang 142 km kini 60% telah rampung.

Bagi Gubernur Sulsel, pembangunan kereta api dengan konsep at grade (darat) diklaim ‘tidak masalah’ untuk wilayah Kota Makassar, apalagi konsep tersebut telah disetujui Kementerian Perhubungan. Sementara Wali Kota Makassar lebih setuju dengan konsep elevated (layang) karena telah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan (RTRW) dan dalam waktu jangka panjang kota akan berkembang.

Alih-alih mendebatkan konsep mana yang layak digunakan, penting untuk memahami sejauh mana urgensi pembangunan kereta api di Kota Anging Mammiri ini.

Makassar sebagai Political Capital, dengan beragam masalahnya, terutama persoalan kepadatan penduduk dan peningkatan volume transportasi yang tak terkendali, maka perencanaan pembangunan kota  perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, termasuk bagaimana melihat kehadiran Kereta Api dari segala aspek.

Solutifkah Pembangunan Kereta Api

Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan mengatakan, Kota Makassar dipadati penduduk 1,42 juta jiwa pada 2020. Sementara Data Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat), jumlah kendaraan di Kota Makassar mencapai 2,1 juta unit pada 2020, dimana 1,6 juta unit diantaranya merupakan kendaraan roda dua. Kepadatan penduduk dan kendaraan, diyakini akan terus meningkat, sekaligus berkontribusi besar pada kompleksitas masalah di perkotaan seperti kemacetan lalu lintas.

Sementara untuk menjadi kota masa depan dan berkelanjutan, sebuah kota tidak harus memiliki kereta api. Yang wajib adalah orientasi pembangunan kota yang berangkat dari ikhtiar penuntasan ‘problem perkotaan’.

Klaim bahwa kereta api di Makassar merupakan solusi kemacetan, masih perlu kita pertanyakan, karena kereta api yang sementara dibangun di wilayah Sulsel,  memprioritaskan pengangkutan logistik bukan penumpang. Disaat bersamaan,  warga kota masih sangat bergantung pada kendaraan pribadinya masing-masing.

Memang kehadiran kereta api akan melengkapi moda transportasi kota, dan mengurangi biaya pemeliharaan jalan akibat pengalihan ‘beban jalan’ dari kendaraan ke kereta, tetapi melakukan pembenahan terhadap infrastruktur publik yang telah ada seperti fasilitas pejalan kaki dan transportasi massal, akan jauh lebih efektif dilakukan.

Pemenuhan Hak Pejalan Kaki

Di Kota Makassar, pengembangan trotoar ramah pejalan kaki belum banyak ditemukan. Kenyataannya, trotoar menjadi lapak pedagang kaki lima (PKL) dan lahan parkir liar. Fakta ini mempengaruhi antusias warga berjalan kaki.

Selain menata trotoar yang telah ada, penting menambah fasilitas pedestrian agar memperluas jaringan jalan, terutama pada kawasan pendidikan (sekolah, kampus), pusat perbelanjaan, halte, kantor pemerintahan dan fasilitas publik lainnya.

Sebagai rekomendasi,  penulis menawarkan indikator tratoar yang ideal sebagai  berikut.

Pertama, trotoar mesti dilengkapi penerangan. Penerangan yang cukup membuat pejalan kaki merasa aman. Dalam pengembangannya, trotoar dapat dilengkapi dengan CCTV.

Kedua, trotoar mesti dilengkapi dengan pelindung atau peneduh dari cuaca panas dan hujan. Ini akan membuat pejalan kaki betah menggunakan trotoar.

Ketiga, perlu memperhatikan lebar ruang berjalan serta konektivitasnya, sehingga pejalan kaki lebih leluasa dan mempermudah mencapai lokasi tujuan. Banyak warga kota yang enggan berjalan kaki karena persoalan akses yang menyulitkan mereka.

Indikator terakhir adalah memperhatikan keindahan trotoar. Bentuk arsitektur menarik, akan meningkatkan antusias pejalan kaki.

Dengan terpenuhinya indikator-indikator diatas akan menciptakan fasilitas publik yang ‘humanis’ dan membawa warga kota pada kemakmuran. Sementara pembangunan dikatakan berhasil ketika mampu memakmurkan masyarakatnya.

Penyempurnaan Sistem Transportasi

Para ahli mengatakan bahwa kemacetan, pemborosan energi, serta polusi udara dan suara merupakan kegagalan sistem transportasi. Di Kota besar seperti Makassar, ketersediaan transportasi massal yang  terintegrasi adalah kunci dalam penyelesaian masalah-masalah tersebut.

Transportasi Massal yang terintegrasi artinya transportasi yang tidak hanya nyaman, aman serta ekonomis, tetapi juga memiliki konektivitas yang baik, trasnportasi massal yang terhubung dari bangunan ke bangunan, tempat ke tempat, dan menawarkan efisiensi yang jauh lebih baik dibanding ketika menggunakan kendaraan pribadi.

Ketika transportasi massal telah terintegrasi, pemerintah dapat mendorongnya dengan mewajibkan organisasi perangkat daerah (OPD) menggunakan moda transportasi massal.

Kebijakan ini sebagai ‘inovasi kebudayaan’ dimana penggunaan transportasi massal dijadikan sebagai ‘cara hidup baru’ serta ciri peradaban kota yang berkemajuan.

Ketika pembangunan kereta api tetap berlanjut, maka pemkot wajib mengantisipasi dampak yang ditimbulkan. Terlebih pendekatan pembangunan kereta api cenderung sektoral (hanya melihat aspek ekonomi semata), dan tidak menyentuh akar masalah perkotaan. Alih-alih kereta api menjadi solutif, justru berpotensi memperkeruh dan menciptakan masalah baru.

Misalnya, akibat bangunan fisik kereta api, lahan terbuka hijau akan makin berkurang. Alhasilnya terjadi peningkatan pemanasan temperatur kota. Untuk menyelamatkan Kota Makassar dari panas yangberlebih, maka pembangunan kereta mesti dibarengi dengan memperbanyak ruang-ruang terbuka hijau yang baru.