Awal September lalu, Presiden Jokowi menyampaikan apresiasinya terhadap kinerja dan capaian angka pertumbuhan ekonomi provinsi Sulawesi Selatan. Bukan tanpa alasan, meski geliat ekonomi secara nasional mengalami perlambatan, namun ternyata provinsi Sulsel dari tahun ke tahun menunjukkan angka pertumbuhan di atas rata-rata nasional.
Sepanjang 2016, pertumbuhan ekonomi Sulsel mencapai 7,4 persen. Sementara ekonomi nasional mencatat pertumbuhan 5,02 persen. Tahun ini, ekonomi Sulsel diketahui terus bergerak positif dengan menembus 7,52 persen pada triwulan pertama 2017. Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan triwulan II 2017 dibanding triwulan II-2016 tumbuh 6,63 persen. Bank Indonesia (BI) Sulsel memprediksi secara keseluruhan di 2017 akan tumbuh pada kisaran 7,2 persen hingga 7,6 persen. Laju pertumbuhan Sulsel yang berada dikisaran angka tersebut menjadikan Sulsel selalu berada di atas angka nasional dalam beberapa tahun terakhir.
Bagi pemerintah dan sebagian pihak, angka tersebut tentu menjadi prestasi, capaikan kinerja ekonomi secara positif dan menunjukkan betapa makmurnya masyarakat yang ada di Sulsel. Alasannya sederhana, jika tingkat perekonomian menunjukkan angka yang signifikan, mestinya tingkat kesejahteraan masyarakat akan ikut membaik.
Dari sudut ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang signifikan tentu berimplikasi pada perkembangan ekonomi yang menimbukan dua efek penting, yaitu kemakmuran atau taraf hidup masyarakat meningkat dan penciptaan kesempatan kerja baru karena semakin bertambahnya jumlah penduduk.
Namun, ternyata pertumbuhan yang tinggi belum tentu memberi jaminan bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan akan rendah. Banyak negara sedang berkembang termasuk Indonesia yang mempunyai pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan dan kemiskinan juga tinggi. Sehingga muncul tuntutan untuk mengurangi ketidakmerataan tersebut.
Ketimpangan Pembangunan
Anomali tingginya angka petumbuhan ekonomi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat ternyata juga terjadi pada masyarakat Sulsel. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi diatas rata-rata nasional, justru melahirkan kesenjangan ekonomi atau ketimpangan kesejahteraan antara si kaya dan si miskin di Sulawesi Selatan yang memprihatinkan. Ini tergambar dari data indeks gini ratio Sulsel yang masih berada diangka yang cukup tinggi, padahal gini ratio ini merupakan salah satu prime priority pembangunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan saat ini.
Dalam tiga tahun terakhir, mengacu pada publikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), angka gini ratio di Sulsel masing-masing berada di angka 0.42 pada tahun 2014, 0.42 pada tahun 2015, dan 0.43 pada tahun 2016. Dengan posisi 0.43 pada tahun 2016 tersebut, bahkan menempatkan Sulsel berada di posisi puncak paling buruk ketimpangannya secara nasional. Pada tahun 2017, publikasi terbaru BPS (Maret 2017) Sulsel masih berada pada posisi angka gini ratio 0,407, masih menempatkan Sulsel urutan ke empat terburuk secara nasional. Tingginya gini ratio di Sulsel tersebut memberikan gambaran jika selama ini pembangunan ekonomi di Sulawesi Selatan masih sangat timpang.
Angka gini ratio tersebut di atas juga memberikan gambaran bahwa ‘kue’ ekonomi di Sulawesi Selatan terkonsentasi di kelompok masyarakat kelas atas. Manfaat pertumbuhan ekonomi selama beberapa tahu terakhir lebih banyak dinikmati 10 persen kelompok terkaya jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya.
Lalu apa yang menyebabkan angka ketimpangan yang masih tinggi di Sulsel?. Menurut analisis penulis ketimpangan ini disebabkan oleh beberapa hal, Pertama, adanya ketimpangan pembangunan antara desa dan kota di Sulawesi Selatan. kesempatan atau peluang mendapat hidup layak tidak setara dimulai sejak lahir, terutama di pelosok daerah yang disebabkan karena pemerintah Sulawesi Selatan terkesan abai pada distribusi pembangunan secara merata di Sulsel. Kedua, Belum berpihaknya pemerintah Sulsel pada sektor ekonomi kerakyatan yang berkeadilan. Ini juga tergambar dari ratio gini antara desa dan perkotaan di Sulsel yang berbeda jauh. Ketiga, fokus pemerintah Sulsel yang memilih untuk menggenjot angka pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan pemerataan ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi di Sulsel yang tinggi hanya dinikmati kelompok atas saja. Keempat, tingginya ketimpangan tersebut bisa jadi juga diakibatkan dari terpusatnya akumulasi kekayaan pada minoritas masyarakat Sulsel, khususnya di beberapa daerah perkotaan.
Sejatinya, ketimpangan yang terjadi di Sulsel jika dibiarkan terus menerus tidak hanya berdampak pada semakin jauhnya jarak penikmatan ‘kue ekonomi’ di Sulsel antara si kaya dan si miskin, tetapi dalam waktu panjang akan menjadi ancaman pada kesejahteraan dan dapat menimbulkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan resiko konflik sosial. Ketimpangan layaknya api dalam sekam, tidak terlihat secara kasatmata, tetapi tanpa solusi nyata, kondisi tersebut dalam jangka panjang akan memperburuk perekonomian Sulawesi Selatan.
Penulis, Najamuddin Arfah. Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di kolom opini Tribun Timur edisi 2 Oktober 2017