Pilu LK UNM: Dari Agent Of Change menjadi Agent Of Ngeceng


Oleh Dirga*

MAKASSARBICARA.ID – Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.

Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi, dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah.

Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.

Begitulah kira-kira Soe Hok Gie menilai mahasiswa berwatak penjajah.

Sejak menjadi mahasiswa baru, saya benar-benar dibuat terpukau dengan penampilan para fungsionaris Lembaga Kemahasiswaan (LK) UNM.

Mereka betul-betul menunjukkan kebolehannya pada kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB).

Bagaimana tidak, keterampilan serta karismatik terpancar begitu menjual nilai lebih yang membuat saya tertarik untuk turut berproses di Lembaga Kemahasiswaan.

Saya kagum kepada mereka yang menjabat di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MAPERWA).

Baru kali ini kutemui orang-orang yang nampak punya nilai sosialis tinggi. Sekolompok mahasiswa yang bersedia melayani dan mengadvokasi kepentingan mahasiswa.

Semenjak itu, tertanam sebuah perspektif bahwa BEM dan MAPERWA sejatinya adalah lembaga yang mempunyai nilai kesakralan tinggi.

Namun dewasa ini, kesakralan LK baik di tingkat fakultas maupun universitas tak lagi kutemui.

Kelakuan beberapa Elit Oportunislah yang menyebabkan kesakralan lembaga ini mulai terkikis.

Elit yang saya maksud adalah para senior yang haus pengakuan ditengah usianya yang semakin menua.

Entitas yang paling berpengalaman, paling berkuasa dan ‘superior’ di kampus.

Ditambah lagi budak ‘si junior’ yang dengan sukarela dengan setia mendengarkan para elit seniornya tanpa menyaring benar salah suatu perkara.

Dua entitas kampus inilah sebagai faktor utama sekaligus paling berpengaruh dalam roda kerja LK UNM saat ini.

*LK dan Hilangnya Tradisi Intelektual

Semua bermula dari Sekretariat LK, tempat di mana peradaban mahasiswa memulai dan menentukan tujuannya.

Tempat di mana senior-junior menunjukkan sebuah budaya yang nilainya sudah bergeser jauh dari esensi mahasiswa dan ruang ilmiah sesungguhnya.

Kampus kini tidak lagi menjadi ruang ilmiah lantaran sikap diskriminatif terhadap kelompok heterogen. Kampus malah melanggengkan tradisi anti-kemajemukan.

Bagaimana tidak, hadirnya ‘elit’ yang selalu merasa paling benar dan ‘si budak’ yang terus membiarkan dirinya terhegemoni menjadi interaksi yang paling sering hadir di Sekretariat LK.

Kondisi demikian melanggengkan budaya feodal dan akhirnya membentuk sebuah dinasti kemahasiswaan kampus.

Dinasti tersebut melahirkan sebuah politik identitas yakni dimana penghargaan dan kekuasaan adalah sesuatu yang harus dicapai.

Sehingga semua cara pun digalakkan. Semua dikorbankan untuk meraih kepentingan-kepentingan praktis tersebut.

Celakanya, para elit mahasiswa mengorbankan kualitas kader dan kesakralan sebuah lembaga.

Inilah realitas pahit yang harus kita terima. Sangat jauh dari ekspetasi awal pada saat menjadi mahasiswa baru.

Akibatnya, gerakan mahasiswa ikut tercederai.

Tidak jarang gerakan advokasi berakhir nihil dan dengan ’86’.

Penulis tidak lagi menemukan gerakan mahasiswa yang digodok LK UNM didukung oleh masyarakat.

Beberapa aktivis yang hanya mencari panggung. Diikuti LK yang masih saja membawa politik identitasnya.

Keduanya bukan bergerak atas dalih kemanusiaan.

Kenyataan inilah membuat LK mudah disusupi oknum yang tidak bertanggungjawab.

Termasuk tiap forum Musyawarah Besar (Mubes) LK UNM yang rentan dimanipulasi.

Praktik ke’dinasti’an masih saja hadir di tengah-tengah kompleksitas masalah yang terjadi di UNM.

Termasuk keputusan Mubes LK UNM ke XIX yang pada akhirnya gagal meyakinkan saya.

Penulis tidak yakin LK UNM yang kini terbentuk mampu mengadvokasi kepentingan mahasiswa.

Ketidakyakinan tersebut semakin menguat tatkala banyaknya ketimpangan yang saya saksikan selama prosesi Mubes berlangsung.

Terlebih beberapa LK tingkat fakultas dan prodi juga ramai-ramai menolaknya.

Esensi mahasiswa, ruang ilmiah dan kesakralan lembaga juga terus terkikis habis.

Di tahun 2023 ini, masalah akan semakin kompleks, babak baru akan dimulai kembali.

Dan tugas etis kelompok intelektual itu sebagai ‘agent’ tak lagi ‘change’, tapi ‘agent of ngeceng’.

Penulis merupakan mahasiswa UNM