Oleh Dirga*
MAKASSARBICARA.ID – Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memegang amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu juga berkewajiban penyedia sarana prasarana pendidikan nasional.
Di Universitas Negeri Makassar (UNM) dewasa ini, memilih acuh tak acuh akan amanat tersebut. Akibatnya, keluhan dan advokasi dari mahasiswa tak terelakkan.
Dari berbagai pengadvokasian masalah di UNM, tak sedikit yang berujung nihil. Hal ini lagi-lagi mengindikasikan ketidakpedulian Rektorat atas amanat Negara.
Tidak adanya kepastian dan hanya janji manis, yang diberikan pihak birokrat, rektorat juga telah diisi oleh aktor politik ulung.
Ketika saya berkunjung ke Kampus VI UNM Watampone, permasalahan yang hadir sangatlah kompleks.
Kampus Bone hanya menjadi pundi-pundi uang bagi Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), dibanding menindaklanjuti dengan serius berbagai ketimpangan yang ada.
*Sarpras Yang Tidak Layak
Saat itu, hari sedang cerah. Teriknya matahari membuat penulis gerah. Perasaan penulis semakin panas ketika melihat sarana prasarana (sarpras) Kampus VI UNM Watampone jauh dari kata layak.
Selama berkeliling menyusuri lorong kampus, tata ruang wilayah yang buruk tak lepas dari pandangan penulis. Banyak tanah kosong yang tidak dimanfaatkan. Padahal jika dipikir, kualitas pelayanan pendidikan dapat meningkat apabila tanah kosong tadi diperuntukkan membangun sarpras.
Pihak UPP PGSD Bone tampaknya tidak peduli terhadap nilai keestetikan kampus. Sampah bertumpuk di samping Laboratorium IPS. Liarnya rumput bertumbuh dimana-mana sehingga sulit membedakan, antara hutan dan kampus.
Bau tak sedap pun menguasai lingkungan kampus. Jadilah kampus sebagai sarang penyakit. Saking rimbunnya rumput liar, berpotensi menjadi sarang hewan liar pula.
Jika melihat kondisi tiap kelas, dengan daya tampung kurang lebih 25 mahasiswa, hanya mendapatkan satu Air Conditioner (AC). Itupun ACnya kurang terawat. Bayangkan saja, bagaimana proses perkuliahan berlangsung di tengah suhu panas yang tidak wajar menyelimuti ruang kelas, gerah coy…
Sementara itu, kondisi perpustakaan dan beberapa laboratorium cukup mengiris hati. Perpustakaan yang letaknya paling belakang, dibiarkan tidak terurus. Pun koleksi bukunya, yang terbilang lawas sehingga tidak layak dijadikan referensi Karya Tulis Ilmiah (KTI).
Peralatan laboratorium juga kurang terawat. Bahkan ruang terbengkalai.
Terkhusus mahasiswa PGSD Bone angkatan 2021, mereka kesulitan untuk memenuhi syarat mengikuti lomba di luar kampus, lantaran Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang tak kunjung diterima.
Tidak jauh beda dengan kondisi Aula yang tidak lama lagi rubuh. Beberapa plafon bahkan kerap berjatuhan saat kegiatan sementara berlangsung.
Ajaibnya, Rektor dan Dekan FIP ternyata pernah berkunjung ke sana, namun perbaikan tak kunjung benar-benar dilakukan.

Permasalahan akut tentang sarpras di Kampus VI seharusnya menjadi perhatian serius bagi Dekan FIP, apalagi di periode keduanya ini.
Jangan sampai, Dekanat FIP disebut tidak amanah lantaran mengabaikan UU Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 41 Ayat 3, tentang Kewajiban Perguruan Tinggi menyediakan sarpras yang layak.
*Pelanggar Kode Etik
Tidak hanya sarpras, unsur dosen juga bermasalah di UPP PGSD Bone.
Tanpa ragu, mahasiswa mengeluhkan dosen yang kurang ramah, dosen yang hanya tahu memberikan tugas. Konon kasus pelecehan seksual mudah ditemui disana.
Peraturan UNM Nomor 9618 Tahun 2019 tentang Kode Etik Dosen diduga kuat dilanggar. Misalnya, Pasal 5 Ayat 7 Poin (d) perihal etika terhadap mahasiswa, dimana dosen dilarang menyalahgunakan mahasiswa untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan.
Pada saat melakukan advokasi, mahasiswa tak kunjung menemukan itikad baik birokrat. Pihak UPP PGSD Bone malah berlindung di balik dalih tidak memiliki kewenangan.
Pembiaran ketimpangan tidak mencerminkan salah satu tujuan pendidikan, yaitu bertanggung jawab. Padahal sebagai mandataris dari Jurusan PGSD, pihak UPP PGSD Bone harusnya diberikan prerogatif untuk mengelola Kampus VI UNM Watampone.
*Kultur Mahasiswa yang Sakit
Ambruknya sarpras dan rendahnya stakeholder di UPP PGSD Bone berimbas pada kualitas mahasiswa. Mahasiswa turut menjadikan pendidikan sebagai ladang pundi-pundi uang.
LK yang seharusnya berpihak kepada mahasiswa, justru menindas.
Praktik kedinastian dan kultur senioritas juga masih kental di Kampus VI.
Padahal proses pendidikan seharusnya membuat peserta didik paham perihal haq dan batil. Perlakuan mahasiswa PGSD Bone sama sekali tidak mencerminkan nilai filosofis pendidikan Ki Hajar Dewantara, ing ngarso sung tulodo. Mahasiswa PGSD Bone gagal menjadi teladan karena membiarkan ketimpangan terjadi.
Birokrat terus menekan mahasiswa agar membayar UKT, namun tidak dibarengi dengan penjaminan pemenuhan hak. Dengan kondisi demikian, sudah seharusnya LK yang ada di UPP PGSD Bone memasifkan konsolidasi.
Sudah saatnya seluruh mahasiswa UPP PGSD Bone meriakkan ketimpangan yang dialami.
Akhirnya, kompleksitas di Kampus VI Watampone bukan berarti tidak terjadi di bagian UNM lainnya. Artinya, seluruh fakultas di UNM juga berpotensi mengalami masalah yang sama.
Inilah jadinya bila pendidikan dijadikan ladang bisnis, bukan untuk memanusiakan manusia.
Penulis merupakan mahasiswa UNM.