Oleh : Ahmad Sangkala*
MakassarBicara.com-Gelanggang politik selalu menyajikan hal menarik. Hal yang dilarang pun, kadang menjadi “tradisi” yang selalu dilakukan setiap momentum politik khususnya pemilihan kepala daerah (pilkada). Selain money politic, tradisi buruk tiap pilkada yang selalu dilakukan adalah mobilisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk memenangkan kandidat petahana atau kandidat yang didukung oleh petahana. Tentu ini bukan hal yang sulit, karena seorang kepala daerah punya kewenangan untuk mengangkat jabatan, memutasi dan bahkan menonjobkan ASN. Walaupun ada regulasi yang mengatur baik UU ASN maupun UU Pemilu namun tetap saja ada celah untuk melakukan hal tersebut.
Netralitas ASN sendiri merupakan azas yang terdapat di dalam Undang-undang No. 5/2015 tentang Aparatur Sipil Negara. Azas ini termasuk kedalam 13 azas dalam penyelenggaraan kebijakan dan manajemen SDM. Netralitas ASN telah diatur dalam PP No. 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS dan PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS. Pada Pilkada tahun 2017 dan Pemilu Serentak 2018, Kementerian PANRB juga telah mengeluarkan Surat Edaran mengenai pelaksanaan netralitas ASN dalam penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia tersebut.
Menurut Kepala Bidang Pembinaan Integritas SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Kumala Sari (2019), Pengukuran netralitas pada ASN dibagi menjadi empat indikator. Indikator tersebut adalah netralitas dalam karier ASN, netralitas dalam hubungan partai politik, netralitas pada kegiatan kampanye, dan netralitas dalam pelayanan publik.
Dari keempat indikator tersebut, pelanggaran netralitas sering terjadi pada indikator ketiga, yaitu netralitas pada kegiatan kampanye. Dalam indikator tersebut terdapat beberapa poin yang merinci mengenai kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh ASN dalam menjaga netralitasnya.
Pertama, penggunaan media sosial tidak mendukung aktivitas kampanye. Kedua, tidak ikut dalam kegiatan kampanye. Ketiga, tidak membagi-bagi uang dan souvenir kepada pemilih, dan keempat, tidak melibatkan pejabat negara dan daerah dalam kegiatan kampanye. Selanjutnya, tidak menggunakan fasilitas negara atau pemerintah dalam kegiatan kampanye. Keenam, tidak melakukan mobilisasi ASN lain dalam ajakan memilih paslon dan terakhir, tidak memberikan janji program pembangunan kepada masyarakat.
Aturan dan pedoman terkait netralitas ASN sudah jelas, namun tetap saja ada oknum yang kemudian dianggap kurang netral dalam pesta demokrasi. Sebut saja pemberitaan radarmakassar.com (2/2/2020) dimana Bawaslu Kota Makassar segera menindaklanjuti dugaan Mobilisasi massa melalui pesan Whatshap (WA) salah satu group yang diduga merupakan nomor kontak Camat Mamajang, Fadly Wellang. Dalam isi percakapan tersebut, nomor WA yang tertulis nama Fawel meminta untuk mengingatkan RT/RW untuk kehadirannya kegiatan di CCC. Hal ini tentu harus menjadi perhatian penyelenggara pilwalkot Makassar, karena jika terus dibiarkan maka akan terus meningkat oknum ASN yang terlibat di pilwakot. Apa lagi pada pemilu 2019 lalu, terdapat 15 camat yang dijatuhi sangsi oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) karena terbukti terlibat politik praktis.
Lantas siapa yang berpotensi memobilisasi ASN di pilwalkot Makassar?
Makassar menjadi menarik tanpa petahana pasca kemenangan kolom kosong. Kehadiran PJ Walikota Makassar tentunya mengisi kekosongan pemerintahan. Namun untuk kewenangan sangat terbatas, belum lagi untuk status PJ Walikota bisa diganti oleh Gubernur dengan catatan mendapatkan izin Mendagri. Sehingga ada dua yang berpotensi besar untuk memobilisasi ASN yakni Pj Walikota dan Gubernur Sulawesi Selatan. Dari beberapa momentum dan perbincangan warung kopi, Gubernur Sulsel, Prof Nurdin Abdullah memiliki kepentingan politik di Makassar, dimana iparnya, Taufiq Fahruddin menyatakan siap maju sebagai calon walikota Makassar. disisi lain, PJ Walikota Makassar pada beberapa kesempatan pernah tampil bersama dengan Munafri Arifuddin.
Bagaimana pengaruh Prof Andalan di Makassar?
Pengaruh Gubernur Sulsel juga tentu diperhitungkan di kota Makassar. hal ini karena perebutan Makassar sebagai ibu kota Provinsi menjadi hal yang penting baginya, selain untuk memenangkan iparnya, tentunya menjaga basis untuk kemenangan pilgub mendatang juga sangat ditentukan oleh tingkat kemenangan di Makassar.
Namun, berdasarkan hasil survei celebes research center (CRC) November 2019 menunjukkan pengaruh dukungan Nurdin Abdullah terhadap salah satu calon walikota yakni 6,3%, tidak akan memilih calon yang didukung 4,0%, belum tentu/ tergantung calon yang di usung yakni 67,4% dan tidak menjawab diangka 22,3%. Jika dari analisis survei ini, pengaruh Nurdin Abdullah di Makassar hanya 6, 3% dan resisten sebanyak 4,0%. Sehingga total yang fanatik hanya diangka 2,3%. Hal ini tentunya butuh strategi yang jitu jika ingin memenangkan kandidat usungannya.
Kemana ASN dimobilisasi?
Jika pertanyaannya demikian harusnya, jawabannya ASN di Makassar harus netral. Memilih dengan hati nuraninya. Jikapun ada yang memobilisasi, yang berpeluang memobilisasinya pun harus butuh kerja keras. Bukan hanya memaksa ASN memilih kandidat tertentu, bukan hanya mendesak keluarga ASN memilih kandidatnya, tetapi harus menggunakan struktur kekuasaan untuk mengintervensi masyarakat dengan berbagai program dan kebijakannya. Sebab kandidat yang berpotensi didukung memiliki elektabilitas yang masih terbatas. Tapi tentu ini menjadi bagian dari kejahatan demokrasi. Jika itu terjadi, ini menandakan Makassar Mundur lagi.