Rasanya Bersepeda di Kota Dunia


Foto/Dok.Pribadi: Lajur pesepeda Jl Pettarani Makassar.

*Oleh Akbar

MAKASSARBICARA.ID – Sepekan terakhir, saya mencoba cara baru beraktivitas.

Untuk urusan kantor, tempat penulis bekerja, saya memilih bersepeda.

Memilih sepeda sebagai moda transportasi, tentu bukan perkara mudah bagi kita yang terbiasa dengan motor maupun mobil.

Terlebih, bersepeda tidak seefisien dan efektif moda transportasi lain.

Alasan penulis yakni selain menyehatkan, bersepeda di Kota Besar seperti Makassar, juga menghemat biaya.

Saya tidak perlu lagi berbaris di antrian SPBU yang begitu penat, penuh polusi, dan menyita waktu.

Saat pertama kali bersepeda ke kantor, saya terus khawatir.

Betapa tidak, rute Pelita Raya (alamat penulis) menuju kantor (Pengayoman) mengancam keselamatan saya.

Padatnya kendaraan, memenuhi hampir semua bagian badan jalan, menjadi alarm bagi saya agar tidak tertabrak besi berjalan.

Dalam hati berucap:
“Pelan-pelan ki pak sopir, matimija natabrak ma ini orang,”.

Dengan was-was penulis menyebrangi jalan dengan sebelah kaki berasa berada di alam akhirat.

Dalam benak saya terus terlintas akan tertabrak dari belakang.

Bisa jadi ini efek psikis karena belum terbiasa bersepeda di jalan utama perkotaan.

Bagi saya, bersepeda di Kota Makassar dipenuhi gejolak batin yang menyiksa.

Tidak sampai disitu, tiap kali saya bersepeda ke kantor, saat itu pula penulis menemukan ‘pengendara lain’ merebut hak pesepeda.

Disini hak pesepeda yang dimaksud adalah akses/jalan khusus sepeda.

Secara umum, akses/jalan pesepeda terdiri dari Bike Path, Bike Lane dan Bike Route.

Setelah saya mempelajarinya, akses/jalan yang saya lalui, disebut Bike Lane atau lajur sepeda.

Dari sini, antara jalur, lajur dan rute sepeda, ternyata adalah hal yang berbeda.

Sederhananya, Bike Lane adalah lajur sepeda yang berbagi ruas wilayah dengan kendaraan lain dan manusia.

Bike Lane juga bercirikan, menyatu dengan fasilitas publik lainnya seperti trotoar.

Jika kita pernah melintas sepanjang jalan Pettarani, terdapat lajur khusus pesepeda dengan lembar 1,5 meter, lengkap dengan simbol sepeda di aspal.

Lajur pesepeda juga bisa kita temui di trotoar depan Kantor Dinas PU Sulsel.

Artinya, lajur pesepeda yang saya lalui adalah jalan sepeda yang menyatu dengan trotoar pejalan kaki dan memungkinkan diakses pengendara lain, yang tentu mengancam keselamatan pesepeda.

Tidak hanya itu, menyatunya lajur sepeda dengan pejalan kaki, membatasi pergerakan keduanya, dan bukan tidak mungkin, bisa memicu konflik diantara mereka.

Kondisi timpang lainnya adalah seringnya penulis menemukan lajur pesepeda dijadikan sebagai lahan parkir dan jualan.

Kondisi ini lagi-lagi merugikan pesepeda hingga meningkatkan resiko kecelakaan.

Dari pengalaman penulis diatas, bersepeda di Kota Dunia memang ‘ngeri-ngeri’ sedap.

Data menunjukkan angka kecelakaan lalu lintas melibatkan pesepeda terbilang tinggi.

Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia membeberkan terdapat 29 peristiwa kecelakaan pesepeda dimana 17 diantaranya meninggal dunia.

Sehingga wajar, kebanyakan diantara kita menganggap bersepeda sebagai pilihan berbahaya.

Muluk-muluk menjadikan sepeda sebagai budaya atau rutinitas harian, para pemangku kebijakan dan mereka yang kurang menghargai hak pesepeda, justru menjauhkan masyarakat perkotaan dari transportasi yang sebenarnya menguntungkan manusia.

Akibatnya, sepeda yang memberikan kesehatan, keringanan biaya dan ramah lingkungan, justru menghadirkan kesan tidak aman bagi kita.

Selanjutnya, mari kita menanti kebijakan yang peduli dengan pesepeda.

Dalam momentum politik menuju 2024, akankah ada calon kepala daerah atau wakil rakyat yang berbicara tentang kebijakan dan hak pesepeda di Kota Dunia Makassar.

Meskipun pada akhirnya hanya sebatas bahan kampanye semata.