Resetting; Penataan atau Politik Balas Budi Pilwalkot?


Ilustrasi (Sumber: Detik.com)

Oleh : Ahmad Sangkala*

 

MakassarBicara.id Resetting menjadi perbincangan menarik di Kota Makassar. Bagaimana tidak, nasib pejabat publik di Kota Makasssar ini sangat bergantung pada hasil resetting yang dilakukan oleh Walikota. Istilah resetting ini digunakan Walikota Makassar, Danny pomanto untuk melakukan penataan birokrasi di lingkup pemerintahan Kota Makassar.

Seperti kita ketahui bersama, penataan birokrasi merupakan tiga fokus utama pasangan Danny Pomanto dan Fatmawati Rusdi ini. Dua di antaranya yakni Makassar Recover, istilah yang dipakai pemerintah Kota Makassar dalam hal penanganan Covid-19 dan fokus yang ketiga adalah akselerasi infrastruktur. Ketiga fokus ini tentunya memiliki tantangan tersendiri, apalagi kondisi yang belum sepenuhnya pulih dari Covid beserta dampak yang ditimbulkannya.

Kembali ke soal resetting , langkah ini telah diambil secara tegas dan menyeluruh dilakukan oleh Walikota Makassar. Resetting ini dilakukan mulai dari merombak posisi jabatan eselon II dan III. Selanjutnya menata jabatan Lurah hingga Kepala Seksi di lingkup kedinasan. Tak sampai disitu, resetting ini juga bahkan menyentuh hingga pimpinan Perusahaan Daerah (Perusda) Kota Makassar.

Resetting , bongkar pasang pejabat maupun lelang jabatan pada prinsipnya sesuai dengan aturan dan merupakan hak prerogatif Walikota. Meski begitu, patut pula dicurigai, resetting ini tidak dilakukan secara subtansial dan berbasis kebutuhan. Tetapi hanya dilakukan secara prosedural. Hal ini patut menimbulkan kecurigaan.

Sebab, resetting ini secara politik sangat rawan dijadikan sebagai alat barter politik.

Gonta-ganti kabinet merupakan cara kepala daerah untuk mengoptimalkan kinerja jajarannya. Namun, di balik semua itu, tak sedikit juga dilakukan sebagai bentuk balas jasa kepada para tim sukses (timses) yang andil dalam pemenangan sang kepala daerah.

Politik Balas Budi

Istilah politik balas budi bukan merupakan hal yang baru di Indonesia. Sekiranya Belanda tak melakukan politik etis, mungkin kemerdekaan Indonesia akan lebih lambat. Politik etis era kolonialisme ini juga tak lahir begitu saja, juga tak lahir dari sentrum kekuasaan.

Politik ini lahir dari kritik keras yang dilakukan oleh politikus dan intelektual Belanda yakni Pieter Brooshooft dan C. Th. Van Deventer. Kedua tokoh ini merasa semua kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah Belanda merupakan tindak eksploitasi dan menurunkan kesejahteraan rakyat.

Dengan begitu, Pieter Brooshooft dan C. Th. Van Deventer merasa pemerintah Belanda memiliki utang tanggung jawab moral untuk mensejahterakan rakyat Hindia Belanda. Bermula dari kritikan inilah, akhirnya pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan politik etis sebagai bentuk balas budi kepada masyarakat Hindia Belanda.

Kembali ke konteks resetting Makassar, kebijakan ini memungkinkan juga sebagai ajang balas budi. Di mana Walikota terpilih mungkin merasa perlu untuk memberikan ‘imbalan’ yang sepadan bagi orang yang pernah ikut andil dalam pemenangannya sebagai kepala daerah. Sehingga wajar, jika ada kalangan yang menyoroti kalau ada politisi partai tertentu atau pimpinan organisasi masyarakat tertentu yang mengisi pos-pos resetting ini, khususnya di Perusahaan Daerah (Perusda). Hal demikian tentu juga ada benarnya, walaupun tak semua benar.

Resetting ini tentu bukan semau–maunya Walikota, apa lagi menyangkut resetting di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Camat dan Lurah. Hal ini karena mekanisme tersebut sudah diatur dalam UU ASN. Sehingga harus ada prosedur, yang menjabat juga harus ASN yang memiliki track record dan notabene tidak dapat berpolitik praktis.

Selain itu, pelibatan akademisi dalam tim seleksi resetting ini tentu patut untuk diapresiasi karena dapat mendorong kualitas dan independensi dalam prosesnya. Sehingga proses resetting di Makassar ini harus tetap harus dikawal oleh publik agar dapat berjalan dengan baik.

Dengan demikian, resetting ini adalah ikhtiar Walikota dan Wakil Wali Walikota Makassar untuk menciptakan “kabinet kerja” yang berkualitas untuk merealisasikan janji-janji politiknya. Pada visi dan misi sudah jelas, itulah yang menjadi patokan para pejabat hasil resetting untuk merealisasikannya.

Pada akhirnya, apapun itu, resetting sudah berjalan dan masyarakat Makassar menanti hasil kerjanya.