*Oleh Najmawati
MAKASSARBICARA.ID – Broken Home merupakan kondisi rumah tangga yang sudah tidak harmonis terutama antara suami-istri dan dapat mengakibatkan perceraian atau perpisahan. Hal tersebut dapat menimbulkan konflik antar-anggota keluarga.Perpisahan atau perceraian ini dilakukan karena merasa sudah tidak ada kecocokan antara suami-istri dan tidak dapat dipertahankan lagi. Artinya, keluarga broken home ini sudah tidak utuh lagi ataupun sudah tidak lengkap.
Menurut Komisi Perlindungan Anak dan Ibu (KPAI), kasus perceraian yang terdata di awal tahun hingga akhir tahun September 2020 terdapat sekitar 4200 kasus. Sedangkan pada tahun 2021 tercatat sebanyak 447.743 kasus, dan angka-angka tersebut semakin meningkat setiap tahunnya. Sesuai data laporan Badan Pusat Statistik Indonesia rilisan tahun 2023, terhitung ada sekitar 516.334 kasus perceraian pada tahun 2022, angka ini mengalami peningkatan sebanyak 15,31%dari tahun sebelumnya. Kasus perceraian ini disebabkan dari berbagai macam aspek permasalahan baik secara internal maupun eksternal dari pasangan keluarga yang telah menikah. Keputusan bercerai umumnya dilakukan untuk kebaikan kedua pasangan tanpa memperhatikan anak sebagai korban.
Perceraian dapat mengganggu kesehatan mental anak yang menjadi korban broken home dari keluarga tersebut. Anak dari keluarga broken home dapat mengalami stress, kecemasan, depresi, dan tidak bisa mengontrol emosi. Anak juga akan merasa terasingkan, kehilangan, ataupun kebingungan akibat perceraian orang tuanya. Bahkan anak bisa mengalami kesulitan dalam membangun hubungan dengan orang lain di sekitarnya.
Selain itu, dampak buruk lainnya adalah anak dapat membenci dan marah ke orang tuanya. Ini dapat mengakibatkan trauma yang membuat anak tidak menerima orang tua tirinya, takut menikah, hingga suka memberontak karena jiwa yang tidak stabil. Inilah alasan mengapa perceraian dapat mengganggu kesehatan mental anak.
Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan mental adalah kondisi ketika seseorang sejahtera. Sejahtera yang dimaksud ketika seseorang menyadari kemampuan dirinya dan mampu mengontrol stress yang dialami hingga dapat beradaptasi dengan baik bahkan bekerja secara produktif untuk lingkungannya.
Hal ini penting karena kesehatan mental akan mempengaruhi cara seorang anak dalam memandang dirinya dan memahami lingkungan sekitar.
Keluarga broken home tentunya dapat mempengaruhi kondisi psikologi pada anak secara signifikan. Sehingga anak yang menjadi korban sering kali menunjukkan tindakan anti-sosial dan tidak bermoral. Seperti berkata kasar, melakukan tindakan pencurian, melarikan diri dari rumah, tidak disiplin, merokok, ikut terlibat dalam perkelahian, merusak barang, hingga kebut-kebutan di jalan. Tidak hanya itu anak broken home bahkan memiliki kemungkinan untuk terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum, seperti perampokan, melakukan hubungan seks bebas,menggunakan narkotika dan obat-obatan terlarang, tindakan kekerasan, bahkan membawa senjata tajam.
Dampak psikologi lainnya terhadap anak yang mengalami broken home, ia kemungkinan akan kesulitan dalam membentuk hubungan interpersonal dengan orang lain. Resiko perilaku tidak sehat juga dapat muncul pada anak yang menjadi korban. Hal tersebut dapat terjadi karena ia merasa keluarganya tidak sesuai dengan standar yang ada di masyarakat umum, sehingga hal inilah yang berdampak pada perkembangan sosial dan kognitif anak.
Hal tersebut terjadi karena anak merasa kehilangan kasih sayang yang utuh dari orang tuanya. Kurangnya perhatian dan kasih sayang yang didapatkan anak korban broken home dapat menyebabkan kesejahteraan psikologis cenderung rendah dan hal ini juga memilikikaitan erat dengan kondisi kesehatan mental. Artinya, jika kesejahteraan psikologi terpenuhi maka kesehatan mental baik. Sebaliknya, ketika kesejahteraan psikologi tidak terpenuhi maka kesehatan mental juga cenderung kurang stabil. Nahasnya, anak dengan kondisi keluarga broken home cenderung kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya yang sudah berpisah atau bercerai.
Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UINAM.