Smart Canteen And Smart Library: Inovasi Berbasis Literasi


Oleh Zulfikar Hafid*

Sejumlah tokoh popular gencar menyosialisasikan literasi. Via media sosial, bahkan mereka datang di hadapan khalayak untuk berbicara pentingnya etos ini. Maman Suherman diketahui beberapa kali menggelar agenda untuk sosialisasi literasi. Najwa Shihab yang didaulat sebagai duta baca pun demikian.

Terkait program sosialisasi literasi, saya punya cerita yang menurut saya unik. Suatu ketika seorang kawan yang “otak” sebuah dialog literasi mengirimi saya tayangan presentasi. Tayangan tersebut katanya akan disampaikan oleh seorang tokoh di dialog tersebut. Atas presentasi itu, Si kawan memintai saya saran. Sontak saya balas, “Saran saya, batalkan acaranya, anggarannya alihkan untuk pembangunan perpustakaan kalau memang mau tebar virus literasi.” Si kawan hanya merespons dengan tawa.

Saran tersebut mungkin terkesan naif, tegang sekali. Meski demikian, menurut saya, hal itu sudah semestinya dilakukan. Dialog yang digelar dengan menghadirkan sejumlah selebriti dan dibalut dengan nama agung “dialog literasi” menurut saya tidak efektif. Saya memang harus mengakui, upaya habituasi literasi harus menarik. Penghadiran selebriti merupakan salah satu trik yang mungkin tepat. Akan tetapi, sekali lagi, menurut saya, itu tidak efektif dan tidak konkret.

Menurut saya, langkah konkret untuk habituasi literasi adalah pembangunan perpustakaan di sejumlah titik. Anggaran sebuah kegiatan yang menghadirkan sejumlah tokoh dan selebriti sepertinya setara dengan biaya pembangunan perpustakaan atau optimalisasi perpustakaan yang sudah ada. Sementara itu, untuk sosialisasi efektif, media sosial yang kini telah menjadi dunia nyaman khalayak dapat dimanfaatkan.

Meski, saya tak dapat menampik, memang perlu membuat forum langsung-nyata yang menghadirkan tokoh dan hiburan menarik untuk penebaran virus literasi. Akan tetapi, ini akan lebih baik dilaksanakan jika perpustakaan sudah terbangun dan anggaran untuk forum tersebut tidak boros karena kehadiran sejumlah artis, meski ada apologi, Si artis berkenan dibayar murah.

Terkait literasi, baru-baru ini Pemerintah Kota Makassar meluncurkan program pembangunan kafe perpustakaan untuk beberapa sekolah yang masih memiliki lahan. Hal ini disampaikan Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, Ismunandar.

Program ini dinamai dengan bahasa Inggris “Smart Canteen and Smart Library”. Kantin di beberapa sekolah akan dibangun menjadi tiga lantai. Lantai 1 dan 2 merupakan perpustakaan, lantai 3 merupakan kafe, kantin. Anggaran untuk program ini sebesar Rp10 M. Begitu penjelasan Ismunandar.

Program ini merupakan inovasi berani yang luar biasa, meski jabarannya belum gamblang disampaikan ke publik. Akan tetapi, untuk penyebaran virus literasi, program ini dapat dipercayai berefek. Ini karena sasarannya adalah peserta didik di sekolah. Seyakin saya, tujuan habituasi literasi akan tercapai jika guru memberi stimulasi untuk memanfaatkan perpustakaan kafe tersebut. Stimulasi dapat berupa penugasan ke perpustakaan atau belajar di perpustakaan kafe.

Saya juga meyakini jika perpustakaan kafe tersebut tertata baik dan menarik untuk jadi latar foto instagram (‘instagramable’), para siswa akan tertarik. Dengan stimulasi dari guru yang efektif dan konsisten, literasi akan menjadi habitus. Tercapailah tujuan program Kantin dan perpustakaan pintar yang dicanangkan Pemkot Makassar tersebut. Demikian pula upaya habituasi literasi yang digiatkan oleh sejumlah tokoh.

Perlu juga menjadi catatan, untuk kesuksesan program tersebut, fokus perhatian tidaklah hanya pada fisik bangunan. Kualitas buku-buku atau bacaan yang disajikan juga harus menjadi poin penting. Demikian pula metode stimulasi yang efektif dan unik agar siswa tertarik datang ke perpustaakan, seperti saran saya sebelumnya. Cara atau upaya agar siswa tidak langsung naik atau hanya tertarik ke lantai 3 (kantin) ini tentu harus dirumuskan serius. Inindemi tercapainya tujuan mulia habituasi literasi.

Hal yang takkalah penting adalah kelanjutan program ini. Jangan sampai program ini, karena berupa pembangunan dan inovasi berani, langka, serta luar biasa, terhenti di tengah jalan atau bahkan di awal jalan. Program ini benar-benar harus menghabituasi peserta didik yang merupakan sasaran awal dan “empuk” untuk menghidupkan kultur literasi. Jika ini tercapai, anak-anak terjangkit virus literasi dari program inilah yang akan mengubah kehidupan bangsa lebih baik.

Sudah saatnya Pemkot Makassar memerhatikan dan berfokus pada lorong perpustakaan, tidak lagi hanya lorong pemukiman. Karena itu, program ini harus berlanjut. Pemkot Makassar harus melanjutkan dan dilanjutkan!

Setelah sekolah atau bersamaan dengan perpustakaan-kantin sekolah, pembangunan perpustakaan di pemukiman warga juga dapat mulai digalakkan. Ini untuk perbaikan sumber daya manusia Kota Makassar. Dahulu, oleh Pemkot Makassar sebelumnya pernah diprogramkan Gerakkan Makassar Gemar Membaca. Sayangnya, gerakan ini tiada kabar, tiada jejak. Karena itu, Pemkot Makassar kini dan yang akan berlanjut inilah yang harus merealisasi habituasi literasi di masyarakat. Sekali lagi, seharusnyalah Pemkot Makassar melanjutkan program literasi yang baru-baru dicanangkan tersebut dua kali lebih baik. Pelanjutan literasi tersebut adalah melanjutkan bakti, demi perubahan positif negeri. Lanjut-ki!