Oleh Zulkifli*
MAKASSARBICARA.ID – Langkah Pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja harus dilihat sebagai jalan pintas menggugurkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Meski sebelumnya MK menetapkan UU Omnibus Law Ciptaker sebagai produk hukum inkonstitusional bersyarat pada November 2021.
Padahal pemerintah masih mempunyai waktu untuk memperbaiki Undang-Undang tersebut melalui DPR. Namun langkah perbaikan itu diabaikan dan justru menerbitkan Perpu Ciptaker kontroversial.
Apa yang dilakukan pemerintah adalah bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK. Pemerintah tampak tidak punya itikad baik untuk berpegang teguh pada praktik hukum yang benar.
Pemerintah telah berupaya mengakali putusan MK. Padahal MK sudah jelas memerintahkan untuk merevisi UU Omnibus Law Ciptaker, tetapi lagi-lagi tidak dijalankan.
Masih jelas di ingatan disaat gelombang protes penolakan UU Omnibus Law Ciptaker oleh berbagai elemen sipil terus bermunculan, hingga pada akhirnya UU Ciptaker dinyatakan bermasalah.
Secara bersamaan pula, pemerintah mempersilahkan semua pihak untuk menggugat UU Omnibus Law Ciptaker ke MK, namun setelah MK mengeluarkan keputusan justru dilawan pemerintah dengan perpu.
Tak hanya itu, Perpu Omnibus Law Ciptaker terkesan sangat dipaksakan.
Dari sisi urgensinya, kemunculan Perpu Omnibus Law Ciptaker sama sekali tidak memenuhi sebagaimana syarat diterbitkannya sebuah perpu.
Memang Presiden berhak menetapkan Perpu sebagai pengganti undang-undang sebagaimana Pasal 22 UUD 1945. Namun, penerbitan perpu baru diperbolehkan apabila negara dalam keadaan genting.
Genting misalnya negara sedang dilanda pandemi tak berujung, bencana alam dahsyat, atau perang.
Sementara saat ini, kita sudah tidak merasakan semua itu bahkan telah melewatinya.
Dilain sisi, dari 7 poin pertimbangan yang dijadikan alasan penerbitan Perppu sulit diterima oleh akal sehat.
Penerbitan perpu dengan alasan adanya dinamika global yakni kenaikan harga energi dan pangan, perubahan iklim, dan terganggunya rantai pasokan, belum menjadi dasar yang kuat.
Meskipun kondisi tersebut dinilai menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan inflasi nasional.
Pertanyaannya kemudian, apakah kegentingan itu benar-benar terjadi sehingga perlu diterbitkan Perpu?
Termasuk apakah perang Rusia dan Ukraina bisa disebut sebagai kegentingan memaksa?
Apakah perang Rusia dan Ukraina dapat dijadikan sebagai landasan penerbitan Perpu?
Dibalik semua itu, penulis tetap berdiri pada posisi tidak percaya.
Penulis justru menduga kuat adanya upaya pemerintah melayani kepentingan pemilik modal, bukan untuk kesejahteraan rakyat pribumi.
Terlebih saat konferensi pers, pemerintah mengatakan perpu hadir guna memberikan kepastian hukum kepada investor atau pengusaha.
Penerbitan perpu juga sebenarnya menyalahi prinsip berdemokrasi kita sebab aspirasi rakyat yang menolak Omnibus Law Ciptaker justru diabaikan.
Terakhir, penerbitan Perpu Omnibus Law Ciptaker membuktikan tidak adanya niatan serius pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan.
Penulis merupakan Sekretaris Panglima Gerakan Aktivis Mahasiswa (GAM)