*Oleh Akbar
Makassarbicara.id – Pembaca sekalian, terutama Kak Kasman, tulisan tanggapan ini saya buat saat bekerja, kala siang bolong. Jadi wajar kualitas tulisannya dibawah level Kak Kasman, karena saya tidak dalam posisi terbaik menulis.
Kalaupun tulisan ini kemudian dihujat, tak mengapa, terpenting Kak Kasman membaca lalu membagikannya. Begitupun kader HMI Ikhwan yang tak suka, silahkan saja, itu bagian dari independensi kader. Toh saya sudah laku, sudah punya istri, Kohati lagi, hehehe.
Kak Kasman menyebut dalam tulisannya, berjudul HMI dan Buku, seperti menggambarkan realitas kader belakangan ini. Tapi tunggu dulu. Tidak semua kader HMI miskin wacana dan bacaan. Banyak kader yang saya kenali berpacaran dengan buku, apalagi buku itu pemberian dari Kohati. Hanya bisa saja, selama ini Kak Kasman bertemu dengan kader yang hanya senang membaca caption tiktok, bukan buku filsafat dan sejenisnya. Atau bisa begini, jangan lagi ada kader HMI yang berani menemui Kak Kasman, kecuali punya bacaan kuat.
Kak Kasman, saya juga punya teman akrab yang punya ketertarikan kuat terhadap buku, tapi bukunya lebih menantang dari teori-teori politik, sosial, hingga pemikiran tokoh Islam. Mereka senang membaca buku Filsafat, tapi Filsafat Cinta, bukan buku Sosiologi Pendidikan tapi buku Sosiologi Cinta. Jadi kader bukan miskin narasi, tapi seleranya berbeda. Kader saat ini lebih senang dengan yang cinta-cinta, hehehe.
Kak Kasman, saya mengagumi senior HMI seperti Kak Kasman, olehnya saya ingin memberitahu soal kelakuan unik kader saat ini. Ada kader yang senang hingga berlomba-lomba berkuasa tapi tidak bertanggung jawab, terlihat memanfaatkan HMI, menelantarkan organisasi.
Mereka tampak berkelompok, mengejar posisi pengurus HMI, bergaya-gayaan, ada juga memeras halus pejabat. Bahkan ada yang hari ini demo, besoknya bertemu di warung kopi, minta dibantu berkegiatan,ehem. Mungkin kondisi ini pernah terjadi diera kak Kasman, tapi semoga tidak. Pada saat bastra, mereka menceramahi peserta, dengan percaya diri. Hebatnya mereka berstatus sebagai pengader.
Kak Kasman coba bayangkan, lebih berbahaya mana, kader miskin bacaan atau kader yang ‘agak lain’ tadi. Keduanya tidak kita harapkan, tapi fakta ini benar adanya. Lalu mengapa kondisi ini terjadi bahkan tumbuh subur? Salah satunya kurangnya sosok alumni yang setia dengan nilai-nilai yang ditanamkan HMI, yang tampil dan bisa dikunjungi kader baru.
Sejak berHMI, hanya segelintir orang saja yang saya akui memiliki kesetiaan pada nilai organisasi. Itu tidak hanya terlihat dari kisah-kisah yang mereka ceritakan saat saya bertemu, tetapi terpancar dari sikap, pemikiran, dan kesehariannya.
Sebut saja, Kak Sulhan, Kak Idham, Kak Herman, Kak Alto, Kak Djamal, Kak Rajab, Kak Naja, dan nama senior lainnya termasuk Kak Kasman sendiri. Saya merasa terselamatkan karena menjadikan nama-nama tadi sebagai cerminan kader HMI. Sementara kader lainnya yang tak seberuntung saya, justru mengenal senior yang sebaliknya.
Lalu apa dampaknya? jadilah Kader HMI yang cacat pemikirannya sejak bastra. Tidak ada senior yang layak dijadikan tauladan. Mereka seakan tak punya pilihan, meneladani senior yang bermental kekuasaan, menjual HMI demi kedekatan dengan pejabat.
Kak Kasman, andai saya sudah dirumah, tulisan ini pasti jauh lebih panjang dari tulisan Kak Kasman. Tapi sayangnya saya masih harus menunaikan tanggung jawab sebagai suami, apalagi istri saya adalah Kohati yang tak ingin kalah cantik dari Kohati Kak Kasman.
Soal Kohati, saya belum sanggup menjelaskan banyak seperti tulisan kak Kasman. Tapi istri saya juga senang dibacakan buku dibanding dia yang membacanya. Namun kalau membaca pesan WA di Hp saya, istri saya jagonya.
Untuk Kak Kasman, ubur-ubur ikan lele, kapan kita buka kelas menulis lagi Le.