MAKASSARBICARA.COM-Baru-baru ini, netizen dan warga kota Makassar ramai memperbincangkan sekaitan istilah ‘resetting pemerintahan’ yang dijadikan sebagai tagline oleh pemerintahan Kota Makassar dibawah kepemimpinan Ir Moh Ramdhan Pomanto saat ini. Diskursus terkait resetting semakin heboh saat Prof. Aminuddin Ilmar selaku Pakar Hukum tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin memuat tulisan di media online, portal tribun timur beberapa waktu lalu.
Tulisan ini dibuat untuk menanggapi tulisan dari bapak Sawedi Muhammad (Sosiolog Universitas Hasanuddin) yang dimuat beberapa waktu lalu dengan judul Reformasi Yes, resetting No dan juga tulisan seorang Politisi Ketua PSI Sulsel, bapak Muhammad Fadhli Noor yang berjudul Resetting Makassar Recover.
Sebelumnya Prof Ilmar mengemukakan dalam opininya bahwa pentingnya resetting pemerintahan dijalankan dan dilakukan tidak lain untuk memberi dorongan kuat pada penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, berkualitas dan berintegritas serta bebas dari tindakan atau perbuatan penyalahgunaan kewenangan. Bagaimanapun juga tujuan akhir dari resetting pemerintahan tidak lain untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari indikasi korupsi.
Tanpa hal tersebut maka sangat sulit bagi setiap kepala daerah untuk melakukan penataan pemerintahannya tidak hanya persoalan kelembagaan semata, namun yang terpenting adalah bagaimana menempatkan pemangku jabatan atau pejabat pemerintahan yang sesuai dengan kompetensi dan kapasitas serta integritasnya. Pelaksanaan resetting pemerintahan tentu saja membutuhkan suatu proses yang terbuka dan bertanggung jawab sehingga warga masyarakat bisa menerima dengan baik proses resetting pemerintahan tersebut.
Hal ini juga sejalan sebagaimana dikemukakan oleh Mendagri, bahwa langkah resetting pemerintahan tidak lain untuk memaksimalkan kinerja pemerintahan agar pelayanan publik bisa berjalan sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan.
Apalagi situasi pandemik yang terjadi maka penyelenggaraan pemerintahan tidak boleh hanya dilakukan secara biasa-biasa saja, harus ada lompatan dan inovasi yang dilakukan agar penanganan dan penanggulangan pandemi covid-19 bisa ditangani dengan baik juga dengan mempercepat melakukan upaya pemulihan ekonomi dan pemberian jaminan sosial atau social safety net kepada warga masyarakat yang terdampak. Artikel ini telah tayang di Tribun-Timur.com dengan judul Resetting Pemerintahan,Inovasi dan Lompatan Penanggulangan Covid-19 atau Balas Jasa dan Balas Dendam, (https://makassar.tribunnews.com/2021/04/28/resetting-pemerintahaninovasi-dan-lompatan-penanggulangan-covid-19-atau-balas-jasa-dan-balas-dendam?page=all)
Tulisan ini kemudian ditanggapi oleh seorang politisi Sulsel, Fadli Noor yang mengatakan bahwa terma “resetting pemerintahan” yang sebelumnya tidak pernah ada dalam istilah pemerintahan di negeri ini. hal termuat dalam Artikel ini telah tayang di tribuntimur (https://makassar.tribunnews.com/2021/04/28/resetting-makassar-recover)
Juga muncul tanggapan dari Suwedi Muhammad, Sosiolog Unhas yang menyatakan bahwa Konsep resetting pemerintahan yang dikemukakan Prof. Ilmar dalam kapasitasnya sebagai pakar hukum tata negara Universitas Hasanuddin. Sayangnya, dalam mengemukakan argumentasinya tidak terlihat rujukan normatif yang khas pakar hukum tata negara dari istilah resetting pemerintahan. Di samping itu, definisi dan batasan serta cara melakukan resetting pemerintahan tidak dikemukakan secara komprehensif.
Lebih lanjut beliau menyampaikan bahwa Prof. Ilmar menganggap bahwa resetting pemerintahan hanya sebagai tools dalam mempercepat reformasi birokrasi pemerintahan melalui pemetaan jabatan, beban kerja jabatan, lelang jabatan serta kompetensi pemangku jabatan yang dibutuhkan. (Artikel ini telah tayang di Tribun-Timur.com dengan judul (https://makassar.tribunnews.com/2021/04/30/reformasi-yes-resetting-no?page=2)
Setidaknya ada 3 (tiga) alasan penulis ingin membela resetting pemerintahan yang dikemukakan Prof. Aminuddin Ilmar beberapa waktu yang lalu.
Pertama, bahwa Prof Ilmar merupakan guru besar yang murni memberi masukan untuk pemerintah kota Makassar. Beliau berbicara sebagai akademisi dengan kapasitas keilmuan yang dimilki sebagai ahli hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Sungguh amatlah berbeda halnya terhadap resetting yang dipolemikkan oleh politisi dengan akademisi sebab kecendrungannya berseberangan. Ketika politisi mempermasalahkan suatu kebijakan resetting pemerintahan maka tentu saja kemungkinan terbesarnya ada ‘udang dibalik batu’ yang artinya bisa diduga ada kepentingan yang terselip didalamnya. Berbeda halnya dengan pandangan akademisi dalam melihat resetting pemerintahan ini bahwa tentu saja beliau mengemukakan pendapatnya dalam kapasitasnya sebagai Ahli Hukum tata Negara serta selalu mengedapankan objektifitas dalam kacamata konsep dunia akademisi itu sendiri.
Kedua, penulis melihat justru penanggap sebelumnya telah gagal memahami terkait resetting pemerintahan walikota Makassar saat ini. jika kita jelih dan rasional melihatnya, maka resetting pemerintahan yang dimaksud disini ialah “Resetting sebagai tagline”. Dalam KBBI (1988) kata resetting berasal dari kata reset yang berarti menyetel ulang atau set ulang terhadap apa yang ada. Kenapa itu dilakukan oleh karena ada sesuatu hal yang dirasakan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan terjadi. Dengan kata lain, kegiatan reset itu dilakukan oleh karena ada ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan dengan kenyataan yang ada.
Sementara Reformasi birokrasi adalah perubahan pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set) aparatur negara dan merupakan suatu upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process) dan sumber daya manusia aparatur. Reformasi Birokrasi adalah penyelenggaraan pelayanan publik yang merupakan suatu proses yang bertujuan untuk memberikan berbagai jenis layanan yang mengurusi segala hal yang diperlukan oleh masyarakat baik itu pemenuhan hak-hak sipil dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. (http://lapaslhoknga.kemenkumham.go.id/index.php/berita-utama/reformasi-birokrasi).
Dalam kaitannya dengan birokrasi pemerintahan maka tentu saja secara substantif menjadi sangat penting bagi seorang kepala daerah apakah itu gubernur, bupati dan walikota untuk melakukan resetting pemerintahan agar pencapaian dari visi dan misi serta program kerja yang telah ditetapkan dapat terlaksana dengan baik dan benar. Perlu kita garis bawahi bahwa antara “resetting pemerintahan” maupun “reformasi birokrasi” secara substansi itu sama yang dimana keduanya menghendaki adanya reset ulang atau pengaturan ulang dengan tujuan untuk menjawab secara tepat atas permasalahan yang tengah dihadapi serta dibenarkan secara hukum.
Ketiga, mestinya di tengah ancaman gelombang pandemic, mestinya kita tidak lagi memperpanjang ketegangan pilwalkot tetapi marilah kita fokus bahu membahu dalam menyukseskan Makassar Recover yang tujuannya bagaimana kembali menormalkan Makassar dari derasnya arus gelombang pandemic covid 19. Sebagaimana kita tahu bahwa kita telah bertarung lebih kurang setahun melawan corona namun belum juga memberi hasil sebagaimana kita harapkan. Dengan begitu, maka program Makassar Recover kiranya bisa memberi efek sebagai solusi atas derasnya laju hantaman pandemic covid 19 yang melanda negeri khususnya kota Makassar ini. Saatnya kita bersatu dalam melawan pandemic covid 19 melalui program ini.
Penulis adalah Muslim Haq. M (Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unhas)