*Oleh Muhammad Syarif
MAKASSARBICARA.ID – Kegiatan membaca buku adalah suatu rutinitas yang seharusnya dilestarikan tanpa melihat tempat. Sebab, asal mula atas segala muara peradaban dilihat dari segi isi pikiran.
Lahirnya suatu peradaban tak terlepas dari orang-orang yang lekat dengan bacaan buku. Sebut saja mereka sebagai pelopor peradaban, misalnya, Ahmad Dahlan, Soekarno, Agus Salim, Sultan Syahrir, Gus Dur, dan masih banyak lagi.
Kalau kita telusuri, apa yang melahirkan ideologi mereka sehingga bisa lahir peradaban yang maju dan beradab? Jawabannya adalah rutinitas membaca.
Sebab membaca kita mampu menemukan berbagai perspektif yang ada, serta mampu menafsirkan kondisi realitas dan segala problemnya.
Tanpa adanya rutinitas membaca, mungkin BJ. Habibie yang terkenal dengan teorinya Crack Progression tak akan diajarkan di berbagai universitas-universitas dunia. Elon Mask tak akan mungkin memiliki perusahaannya yang kita kenal dengan nama Tesla ketika Ia tak melakukan rutinitas membaca buku-buku tebal sejak kecil. Jens Eilstrup Rasmussen juga tak mungkin akan menemukan dan mendirikan Google Maps; sebagai alat yang mempermudah kita dalam mencari arah, tanpa melakukan rutinitas membaca.
Ada banyak pikiran yang dapat kita temukan dari hasil bacaan. Seperti pikiran Marx, yang memberikan konsep negara tanpa kelas. Antonio Gramci tentang teori hegemoninya. Paulo Freire dengan konsep pendidikan yang membebaskan, dan tentu masih banyak lagi pikiran-pikiran di luar sana yang masih berkeliaran serta bisa mengubah sudut pandang kita menjadi jauh lebih baik tanpa kita sadari.
Seperti yang diungkapkan oleh Sayyid Qutb. Katanya, “satu peluru hanya mampu menembus satu kepala, tetapi satu narasi akan mengintervensi seluruh isi kepala”. Dari sini kita bisa memetik suatu makna, bahwa membaca dapat membuat pikiran kita menjadi masif terstruktur dan universal.
Bahkan dalam perspektif teologi Islam sebagai respon peradaban yang tertuang dalam Al-Quran Surah Al-Alaq tertuang perintah Iqro (bacalah). Yang di mana hal ini harusnya menjadi kebiasaan intelektualitas para kaum muslimin untuk kembali merefleksi atas pentingnya budaya baca, untuk merespon berbagai kondisi sosial yang ada.
Namun tentu hal demikian tidak bisa dipungkiri apalagi dengan berkembangnya suatu teknologi yang notabenenya menghasilkan pola pikir instan kian menggerogoti budaya baca buku. Hal tersebut mempermudah akses ke segala bentuk informasi akan tetapi tidak dibarengi dengan rasa ingin tahu untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran informasi tersebut.
Mendengarkan potongan video atau hanya sebatas membaca potongan quotes orang lain pada akhirnya membuat buku tak lagi menarik dan dianggap sebagai hal yang jadul, bahkan tabu.
Jika kita melihat kembali konsep pendidikan yang telah berjalan dengan sejumlah kurikulum yang tiap tahunnya berganti, seharusnya kita telah berada pada konsep pendidikan dengan kualitas terbaik. Tentu yang dimaksud adalah tidak kembali pada konsep pendidikan pencetak manusia layaknya robot-robot yang tak berfikir.
Bagaimana mungkin kita mampu menciptakan konsep-konsep untuk memajukan bangsa dan memajukan kualitas pendidikan ketika kita hanya sebatas melek ‘baca’ tanpa menanamkan budaya membaca.
Rutinitas membaca seharusnya dibudayakan dan dilestarikan, bukannya dianggap sebagai suatu hal yang jadul dan tabu.
Pada akhirnya kita terlalu asyik bercengkrama tanpa makna. Dampaknya akan melahirkan masalah-masalah yang minim solusi hingga terjadinya krisis akal sehat yang mengakibatkan dehumanisasi.
Kita tidak perlu jauh-jauh untuk memikirkan mengapa membaca adalah kegiatan jadul dan tabu di khalayak umum. Karena dalam pendidikan saja, hal tersebut sudah mulai merosot bahkan telah hilang dan digantikan dengan budaya-budaya gosip dan saling mengkerdilkan antar sesama.
Jika terdapat orang-orang yang masih ingin dan baru memulai membudayakan membaca, mereka akan dikerdilkan dengan kata-kata “si-paling produktif, si paling kutu buku”. Celotehan tersebut membuat orang-orang menjauhi budaya membaca.
Seharusnya ini adalah kritikan besar untuk para kalangan guru dan dosen sebagai salah satu fasilitator yang seharusnya memberikan sebuah pengaruh lebih tentang pentingnya membaca buku.
Sayangnya, mereka hanya menjadikan buku sebagai alat komersil bagi mahasiswa. Meraka dipaksa untuk membeli buku dengan iming-iming nilai yang bagus, tapi membungkam mahasiswa ketika ingin menyuarakan hak-haknya.
Pada akhirnya pelajar dan mahasiswa yang terbilang dekat dengan buku, hanya menyukai peringatan simbolis yang lupa merenungi makna dan arti tetang ‘Hari Buku’. Jangankan memperingati dengan agenda pembudayaan literasi, Hari Buku sepertinya tak begitu populis di kalangan mereka juga.
Terlebih pada mereka yang bergelut dalam berbagai macam organisasi kampus. Jika dari mereka tak ada yang ingin memulai melestarikan segala agenda literasi, dampaknya organisasi tersebut akan monoton bahkan dianggap tak punya relevansi lagi sebagai ajang pembelajaran dikarenakan kekurangan referensi.
Oleh karenanya jangan heran jika sekolah-sekolah dan perguruan tinggi adalah salah satu tempat yang menyumbang segala bentuk kejahatan, karena di dalamnya tak ada lagi kesadaran yang mengenalkan tentang arti pentingnya budaya baca.
Penulis merupakan pegiat literasi.