Umur Panjang Perjuangan


Satu kesalahan saya saat menginjakkan kaki untuk kali pertama di Makassar ialah tidak
sempat menanyakan kepada diri sendiri ‘mengapa saya harus berada di kota ini’? Parahnya,
sampai di Palembang barulah saya menyadarinya.

Saya sadari, pertanyaan itu sangat penting. Malah lebih hebat daripada jawaban yang rasional
sekalipun. Pertanyaan tentang mengapa saya harus berada disini atau mengapa saya tidak
berada di tempat lain saja, merupakan sebuah pertanyaan sebagai pintu masuk ke dalam suatu
perjuangan; mengandung sentuhan yang mampu mendorong seseorang untuk mengoreksi
bahkan meragukan bangunan alasan, motivasi dan perspektif tentang sesuatu, yang sudah
terbentuk sejak awal, yang telah dilalui sekian jauh.

Pertanyaan ‘mengapa’ merupakan suatu tanya yang berupaya menyoal alasan-alasan,
motivasi dan juga perspektif akan sesuatu yang telah dimengerti. Alasan, motivasi dan
perspektif tentang sesuatu yang sedang dijalani atau diperjuangkan, perlu sekali disadari
sebagai jiwa perjuangan. Kesadaran yang demikian, oleh karenya menjadi awal etika
perjuangan.

Pertanyaan yang rasanya amat lambat saya ajukan kepada diriku sendiri itu, saya pikir ada
kemungkinan para pembaca sudah mengajukannya atas keberadaan dan kebagaimanaan
individu masing-masing. Bahwa semua orang, termasuk pembaca adalah pejuang. Akan
tetapi standar nilai suatu perjuangan setiap orang (mungkin) berbeda.

Perjuangan, menurut saya adalah suatu aktivitas yang berkesadaran. Aktivitas yang
berkesadaran berarti suatu aktivitas yang disadari sebagai jawaban atas pertanyaan mengapa
seseorang perlu berjuang. Manusia, oleh karenanya merupakan mahluk pejuang. Sedari awal
ia sudah berjuang bahkan dalam keadaannya sebagai setitik sperma. Hingga akhirnya, ia
sadar bahwa ia pun berasal dari sperma setelah mampu ‘mengoreksi’ keberadaannya.

Politik dan Perjuangan

2018 sebagai tahun politik yang sudah tentu (akan) diwarnai oleh riak perjuangan. Semua
orang ikut terlibat, berpartisipasi, merasa bertanggung jawab; pada akhirnya semua orang ikut
berjuang – terutama mereka yang melek politik.

Pada satu sisi muak dengan keadaan disekitar karena politik yang hanya hidup dalam
percakapan sehari-hari; politik hanyalah frasa untuk orang-orang berduit, bahasa para
penguasa dan pengusaha. Sementara disisi lain, mental sesama manusia yang sudah seperti
tumpukan semak belukar, yang sekali tersulut api sekejap langsung menyalah – membakar –
menghanguskan – Mental yang demikian merupakan mental ‘mentah’ yang nampak
dipermukaan sebagai entitas jiwa yang kumuh dan baru akan meraba-raba mental ‘matang’,
sebagai wujud jiwa yang bersih. Dua hal tersebut ‘memaksa’ orang yang sadar politik untuk
berjuang.

Politik sebagai suatu term filosofis berarti mengerti bahwa ada kekacauan; keadaan manusia
yang berantakan; ‘bangunan kota’ yang remuk; pusat kota yang kumuh, lalu, dengan penuh

kesadaran bangkit berjuang untuk sebuah perbaikan. Sebaik-baiknya politisi ialah politisi
yang memahami hal-hal tersebut. Bangunan pemahaman seperti itulah yang mampu
membangunkan seseorang dari kesadaran gelap menuju aktivitas yang berkesadaran.

Dalam hidup ini, semua orang telah berjuang. Bahkan berjuang berdarah-darah. Banyak hal
yang diperjuangkan tentunya. Tidak hanya memperjuangkan sesuatu yang dimengerti bahwa
telah mengalami pergeseran nilai, posisi dan keadaan asali. Tetapi juga berjuang
mempertahankan idealisme, komitmen dan konsistensi.

Standar nilai suatu perjuangan mencakup semangat, kejujuran, loyalitas, dan etika. Suatu
nilai abadi yang terus menerus menjadi sandaran moral yang selayakanya menjadi landasan
untuk dimulainya suatu perjuangan. Daripadanya-lah segala harapan baik disematkan. Semua
orang berjuang. Tetapi tidak semua orang berhasil.

Perjuangan adalah perjumpaan idealitas di satu sisi dan realitas pada sisi lain. Idealiatas
adalah wajah keharusan. Sesuatu harus ada sebagaimana seharusnya. Idealitas sebagai
gambaran ide-ide ideal merupakan visi jangka panjang bagi setiap orang yang sedang dan
akan berjuang; Bahwa politik itu sangat berguna bagi umat manusia, harus bisa hidup dalam
perilaku setiap orang. Akan tetapi pragmatisme merupakan rintangan yang berat untuk me-
realitaskan yang ideal (idealitas) itu.

Realitas itu dekat dengan helaan nafas setiap individu, dekat dengan bola matanya, dekat
dengan ujung kukunya. Memahami realitas berarti berkesadaran tentang keberadaan dan

kebagaimanaan manusia sebagai individu, masyarakat dan lingkungannya. Kesadaran
manusia dalam dimensi yang demikian menentukan keberadaan dan kebagaimanaannya.

Ada orang yang menjadi tidak mau tahu tentang keadaan orang lain karena batas
kesadarannya terletak pada individu yang menyendiri; Ada orang yang mengambil peduli
terhadap ketidakberuntungan orang lain karena ketidakadilan tetapi kepedulian yang
berharapakan pujian, tepuk tangan dan nama besar – kesadaran yang demikian ialah
kesadaran yang menuntut; Lalu ada orang yang memberi tanpa diminta, menjawab tanpa
ditanya, mendengar tanpa dibisikan – Kesadaran yang demikian ialah kesadaran yang
mengerti.

Mengapa manusia sebagai invidu, ketika diperhadapkan pada realitas (ketidakadilan,
kemiskinan, pengkhinatan manusia atas manusia, dan lingkungan yang kumuh akibat dari
degradasi politik nilai) misalanya, ada kecendrungan untuk mengulurkan tangan ‘keadilan’
sebagai topeng untuk menutupi keinginan yang sangat pragmatis?

Mengapa manusia sebagai masyarakat, sulit menjadi Manusia bagi orang-orang lain dalam
bermasyarakat? Menjadi Manusia berarti menemukan wujud ideal kemanusiaan manusia.
Hanya manusia yang tahu ‘apa yang harus diperbuatnya untuk orang lain sebagaimana apa
yang dia kehendaki orang lain perbuat untuk dirinya’. Berjuang dalam dan dengan kesadaran
yang mengerti.

Apakah perjuangan kita sejauh ini merupakan perjuangan yang berkesadaran? Bagaimana
kesadaran kita memberi arti penting bagi orang-orang lain? Lalu mengapa wajah kekecewaan
itu ada dimana-mana?!

Selamat berjuang, Pejuang!

Umur Panjang Perjuangan!!!