Oleh Rivaldy Rusna*
MAKASSARBICARA.ID – Omnibus law dikenal juga dengan omnibus bill. Konsep ini adalah metode pembuatan suatu UU baru dengan mengamandemen beberapa UU sekaligus.
Presiden Jokowi, di hadapan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mengatakan bahwa omnibus law adalah sebuah metode pembuatan aturan yang sering digunakan di negara penganut sistem common law seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Irlandia.
Dan pada pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024 kemarin, omnibus law dianggap sebagai salah satu alternatif pendorong pertumbuhan investasi serta dapat memangkas aturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih di Indonesia.
UU Cipta Kerja salah satu produk omnibus law yang menyelaraskan di antaranya 82 undang-undang dengan 1.194 pasal dan mencangkup 11 klaster substansi.
Hemat penulis, UU Cilaka ini memberikan karpet merah bagi perusahaan multinasional (oligarki) untuk menanamkan dan mengelola berbagai aspek kekayaan Negara melalui investasi bagi kepentingan modal dan meminggirkan kepentingan rakyat luas.
UU Ciptaker berpotensi memangkas hak buruh, melegitimasi eksploitasi sumber daya alam, monopoli tanah rakyat, komersialisasi pendidikan dan mengindikasikan Negara telah lepas tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat.
Berbagai hak buruh seperti uang pesangon, cuti haid, dan jaminan sosial dihapus. Sanksi pidana pada perusahaan juga ikut dihapus.
Pengusaha semakin dipermudah dalam penciptaan pasar tenaga kerja yang fleksibel, outsourcing, dan juga melakukan PHK secara sepihak.
UU ini melegitimasi eksploitasi sumber daya alam sebab penghapusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang selama ini menjadi jaring pengaman bagi kelestarian lingkungan.
Lebih lanjut, penghapusan izin mendirikan bangunan malah dimuat dalam klausul UU Ciptaker ini.
UU Ciptaker juga memberi peluang bagi industri korporaasi untuk mendapatkan akses terhadap tanah rakyat lewat bertambahnya waktu Hak Guna Usaha (HGU) dan dihapusnya batasan luas HGU.
Ini menandakan pengelolaan industri korporasi lebih prioritas dibandingkan hak kelola rakyat.
Pembentukan Bank Tanah, sebagai mandat dari UU, akan melegitimasi perampasan tanah Ulayat Adat dan menambah jumlah konflik agraria.
Tentu perampasan tanah rakyat akan semakin masif dan brutal. Dan tidak menutup kemungkinan tanah dan ruang hidupmu akan menjadi objeknya.
UU Ciptaker merevisi berbagai aturan tentang pendidikan yang secara substansi, Negara lepas tangan terhadap akses pendidikan rakyat.
Misalnya dalam RUU Sikdiknas, beberapa pasal direvisi dan juga menghapus sanksi pidana terhadap praktik pemalsuan ijazah.
Di klaster substansi Pendidikan Tinggi, asas nirlaba pada Perguruan Tinggi ditiadakan.
Ini artinya Perguruan Tinggi didorong menjadi industri baru (komersil), agar selaras dengan UU Ciptaker, yang dibungkus dalam bentuk PTN-BH/BLU dan implikasinya adalah akses pendidikan akan semakin sulit bagi rakyat miskin.
Ke depan, orientasi pendidikan tidak diperuntukkan lagi bagi rakyat miskin.
Tetapi mempertegas posisinya sebagai hal ekslusif yang tidak dapat dinikmati oleh rakyat miskin.
Semangat desentralisasi yang selama ini didorong oleh masyarakat luas atau memberikan otonomi bagi daerah untuk menghindari adanya penumpukan kekuasan pusat justru tercederai dengan diberikannya legitimasi bagi pemerintah pusat untuk menghapus aturan daerah hanya dengan peraturan Presiden.
Hal ini di atur dalam UU Omnibus law. Dari sini, watak otoriter rezim semakin nampak.
Selain uraian di atas, secara formil dapat disimpulkan bawah UU Ciptaker ini cacat prosedural.
Publik tidak pernah dilibatkan secara aktif selama proses pembuatan.
Hemat penulis, komposisi Tim penyusun dari pemerintah hanya diisi oleh para pemilik modal yang bertujuan memperjuangkan akumulasi keuntungan bagi kelompoknya saja.
Belum lagi represifitas dari Kepolisian bahkan Badan Intelijen Negara (BIN) terhadap individu maupun ormas penolak Omnibus Law, mempertegas posisi rezim yang tunduk pada kekuasaan modal.
Menyerahkan diri pada industri terlihat bukan sebuah pilihan, namun sebuah keharusan di dalam selubung wacana yang tidak menghendaki adanya alternatif; selaras dengan perkataan Margaret Thatcher, “there is no alternative”.
Di dunia, di mana kapitalisme berdaulat dan berkuasa, apa yang harus kita lakukan?
Pertanyaan itu selalu menghantui gerak revolusioner negara ketika menghadapi krisis yang sudah di depan mata.
Indonesia, sungguh, sedang mengalami krisis.
Defisit demokrasi dan harapan sedang berdiri mengangkang menghalangi jalan.
Demokrasi yang diharapkan serta dirindukan ternyata tak kunjung datang; demokrasi malah runtuh diterjang ombak revolusi oligarki.
UU KPK dan Omnibus Law menjadi lonceng kematian demokrasi untuk kesekian kalinya.
Di tengah defisit demokrasi seperti ini dimana sesungguhnya para intelektual kampus akan pergi?
Kemana perlawanan ini akan pergi?
Dimana solidaritas antar gerakan itu akan berlari?
Di situasi yang serba krisis, perguruan tinggi harusnya bisa menjadi corong pemikiran kritis dan pendidikan politik; pemenuhan fungsi pendidikan politik bisa menjadi langkah awal usaha penyelamatan demokrasi dari terjangan gelombang oligarki.
Hemat penulis, jelas UU Ciptaker jauh dari kepentingan rakyat.
Hanya akan menghadapkan rakyat dengan sistem aturan yang tidak relevan terhadap konteks bermasayarakat di Indonesia.
Penulis merupakan Pengurus HMI Cabang Makassar