Oleh Akbar*
MAKASSARBICARA.COM-Setelah tersebarnya tindakan kekerasan yang dialami Mamat (nama samaran korban) sebagaimana dijelaskan pada tulisan “Bagaimana Senior Melanggengkan Kekerasan di Kampus” terbitan Profesi UNM, penulis kemudian melakukan pendampingan lanjutan. Pendampingan ini dilakukan atas dasar permintaan serta hasil rembuk keluarga besar korban. Berikut beberapa langkah yang diambil sebagai wujud perlawanan terhadap Kemapanan, kondisi dimana Kekerasan dianggap sebagai sesuatu yang ‘seharusnya terjadi’ dan tidak bisa lagi diubah.
Polisi Setengah Hati
Untuk menjemput keadilan, 10 Juni 2022 korban mendatangi Polrestabes Makassar dan melimpahkan laporannya. Korban menyerahkan beberapa dokumen termasuk Laporan Visum kekerasan. Baru pada 4 Juli 2022, tepat empat minggu kasus ini dilaporkan, polisi yang menangani kasus ini menghubungi korban. Polisi menanyakan beberapa hal, termasuk perihal si pelaku kekerasan. Perkembangan kasus terbaru, pada 7 Juli 2022 korban memenuhi panggilan kepolisian Polrestabes Makassar. Disana korban diminta menghadirkan saksi.
Bagaimana respon polisi atas pelaporan warga, memang belakangan ini banyak membuat kita gigit jari. Ada kesan ‘menggantung’ dari pihak kepolisian, terutama yang paling banyak adalah ketika menangani laporan-laporan kecil, seperti warga kehilangan barang berharga, hingga kasus kekerasan.
Banyak kita temui, anggapan masyarakat bahwa polisi tidak akan menindaklanjuti laporan-laporan yang dinilai aparat sebagai kasus kecil, meskipun sebenarnya di mata pelapor merupakan harta paling berharga, bahkan dengan ‘penuntasan kasus’ amat penting untuk kelangsungan hajat pelapor. Seperti Keluarga Mamat yang menilai kasus kekerasan yang dialami oleh anaknya merupakan hal yang harus dituntaskan, demi kelangsungan pendidikannya dan untuk memotong potensi adanya korban-korban kekerasan berikutnya. Realitas ini mendorong kembali anekdot “percuma lapor polisi” semakin nyata dan membumi.
Polisi yang kita harap bekerja, tanpa melihat besar kecilnya kasus serta mendesak tidaknya perkara, justru banyak kita temui jauh dari harapan. Maka tidak heran, hasil lembaga survey Indikator Politik Indonesia (IPI) pada 6-11 Desember 2021 menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi turun dari 80,2% ke 74,1%. Anjloknya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian, disebabkan karena banyaknya aparat kepolisian yang bertindak ‘tidak wajar’ seperti mendiamkan keluhan dan laporan masyarakat hingga menjadi aktor kejahatan.
Tenggang Rasa Rektorat
Polrestabes Makassar bukan satu-satunya tempat korban mencari keadilan. Pada 14-16 Juni 2022 keluarga korban menghubungi Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan Universitas Negeri Makassar (UNM), dengan harapan pihak kampus dapat menjatuhkan sanksi terhadap pelaku kekerasan.
Namun penegakan keadilan di kampus sangat lemah. Rektorat UNM melalui WR 3 terkesan tidak memperdulikan kasus ini. Pada saat dihubungi, WR 3 meminta korban untuk mengomunikasikan ke Wakil Dekan 3 Fakultas Teknik, tempat dimana kekerasan diternakkan. Padahal seluruh bukti laporan korban ke polrestabes telah diterima oleh WR 3, namun sampai hari ini WR 3 tidak lagi merespon laporan keluarga korban.
Sikap tenggang rasa yang seharusnya dimiliki rektorat UNM, membuat kita kecewa. Kampus dinilai gagal dalam menjalankan kewajibannya yakni menyediakan pelayanan pendidikan yang menjunjung tinggi harkat martabat setiap mahasiswanya.
Dalam kasus ini, penulis menilai kampus telah menyalahi hak mahasiswa yang membutuhkan rasa aman sebagaimana yang tertuang pada Statuta UNM. Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Statuta UNM Pasal 79 menjelaskan, bahwa mahasiswa UNM mempunyai hak ‘memperoleh kesejahteraan’ sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kesejahteraan dalam artian setiap mahasiswa UNM dalam keadaan makmur, sehat dan damai. Sementara membiarkan kekerasan terus terjadi di UNM akan melahap habis kesejahteraan tiap mahasiswa.
Dan kenyataan yang harus kita terima, bahwa UNM sebagai perguruan tinggi negeri dengan akreditasi A (sangat baik) belum mampu memenuhi hak korban, sementara korban selalu dituntut untuk memenuhi kewajibannya terhadap kampus, misalnya tuntutan untuk membayar UKT.
Tenggang rasa pihak rektorat UNM berupa sikap menghargai dan menghormati korban kekerasan benar-benar nihil. Sikap rektorat ini menjadi ‘preseden’ buruk, sekaligus menegaskan bahwa sebaik apapun capaian akreditasi sebuah PTN, sama sekali tidak menjadi jaminan kualitas pelayanan dan mutu pendidikan sebuah kampus.
Pada akhirnya, sikap dan perilaku yang tidak menghormati korban kekerasan dilakukan secara berjamaah. Para pelaku kekerasan akan terus berkembang biak dan pihak kampus memilih menjadi penonton.
Pembungkaman Pers
Berselang tiga hari pasca tulisan “Bagaimana Senior Melanggengkan Kekerasan di Kampus” diterbitkan, tulisan tersebut kemudian di take down dan tidak dapat lagi di akses pada 30 Juni 2022 sampai sekarang.
Sebagai penulis, saya segera mengonfirmasi hal ini ke pihak Profesi UNM. Pihak Profesi membenarkan pencabutan tulisan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Mulai dari adanya kelompok mahasiswa yang tersinggung, pencemaran nama baik, dan berpotensi memicu konflik berkepanjangan. Namun sebelum tulisan itu diturunkan, pihak profesi pernah memediasi penulis untuk bertemu dengan kelompok yang merasa tidak terima dengan tulisan tersebut, namun saya menolak untuk hadir dengan alasan keselamatan. Terlebih semenjak kasus ini terkuak, saya sering menerima pesan WhatsApp dari nomor yang tak saya kenal, beberapa menelpon dan menyampaikan kekesalannya terhadap saya sebagai penulis.
Meskipun banyak yang menganggap ini adalah ancaman dan intimidasi terhadap saya, saya memahaminya sebagai konsekuensi logis dari kebenaran yang diperjuangkan, yakni menghapus segala bentuk praktik kekerasan di lingkungan kampus, khususnya di Universitas Negeri Makassar.
Selanjutnya, penulis mendapati informasi bahwa Profesi UNM memperoleh tekanan dari kelompok tadi. Pencabutan tulisan pun dilakukan tanpa konfirmasi ke penulis. Sikap pers yang tentu kurang baik serta menyalahi kode etik jurnalistik. Semenjak itu pula, tingkat kepercayaan penulis dan pembaca mulai berkurang terhadap Profesi UNM.
Polisi yang setengah hati bekerja, krisisnya tenggang rasa rektorat UNM, hingga upaya pembungkaman pers, dipandang penulis sebagai proses bagaimana ‘Kemapanan’ Kekerasan di dalam kampus tersebut terbentuk dan mengakar. Penulis, dan keluarga korban telah berusaha melawan kemapanan tersebut dengan maksimal, namun masih membutuhkan peran kalian semua.
Jangan biarkan orang baik berjuang sendiri.
Penulis adalah Mahasiswa UNM